Sejarah Madiun Raya 2

Tanah Perdikan di Wilayah Madiun
Di wilayah Madiun dan sekitarnya terdapat beberapa kelurahan dan desa yang dahulu kala pada masa pemerintahan Kesultanan Mataram berstatus sebagai tanah perdikan yang di bebaskan dari segala kewajiban pajak atau upeti karena daerah tersebut memiliki kekhususan tertentu dan berhak mengurus rumah tangganya sendiri, yaitu tanah perdikan Taman, Kuncen (Demangan), Kuncen (Caruban), Sewulan, Banjarsari, Giripurno (Magetan), Tegalsari (Ponorogo) dan Pacalan (Magetan)
1. Tanah Perdikan Kuncen
Pada masa penaklukan Mancanegara Timur oleh Mataram, terjadi banyak korban dikedua belah pihak prajurit, Pusat peperangan terjadi di sekitar sendang dekat istana Kabupaten di Wonorejo (kuncen), korban-korban tersebut dimakamkan di sekitar sendang. Panembahan Senopati memberi otonomi luas pada daerah ini, dan mengangkat Juru kunci untuk memelihara dan menjaga makam. Itulah sebabnya daerah ini disebut “Kuncen”
Desa Perdikan Kuncen terletak di arah barat laut Desa Demangan (bekas Ibukota Wonosari atau pindahan Wonorejo), perlu diketahui, setelah Wonorejo hancur akibat perang, pusat pemerintahan bupati bergeser ke timur yakni menempati kutho miring (Demangan).
Makam Kuncen hingga saat ini masih di hormati dan dikeramatkan masyarakat Madiun, para bupati Madiun yang di makamkan disini pada umumnya bergelar Mangkunegoro, yaitu : Mangkunegoro I (Raden Mas Bagus Petak atau Pangeran Adipati Djuminah), Mangkunegoro II (Raden Mas keniten atau Pangeran Adipati Martoloyo), Mangkunegoro III (Raden Kyai Irodikromo ) , Mangkunegoro IV. Sesuai daftar silsilah Bupati Madiun, para pejabat dan bangsawan yang di makamkan disini adalah keturunan dari Pangeran Timur. Selain itu juga ada makam Kyai Grubug, beliau berasal dari Banten dan sebagai pengasuh keluarga Bupati Mangkunegoro I.
Hingga kini ada 14 kyai yang memimpin Desa Perdikan Kuncen, yaitu : Kyai Grubug, Kyai Semin I, Kyai Semin II, Kyai Semin III, Kyai Semin IV, Kyai Djodo, Kyai Mat Ngarif, Kyai Darsono, Kyai Sutopo, Kyai Karsono, dan Kyai Kentjono
Selain Makam Kuncen, disini juga ada Masjid tertua di Madiun, yaitu Masjid Nur Hidayatullah, artefak-artefak disekeliling masjid, makam Mangkunegoro, serta sendang (tempat pemandian) yang dihormati dan keramat. Sejak tahun 2006 dilaksanakan kembali tradisi mataraman, yaitu grebeg maulud Nabi Muhamad, SAW dengan acara kirab gunungan jaler dan gunungan estri dengan dinaikan ke kereta kuda dari Masjid Kuncen menuju ke Masjid Donopuro Taman, atau dari Alun-alun Madiun menuju ke Masjid Taman.
2. Tanah Perdikan Taman
Pada masa pemerintahan Demak dan Pajang wilayah Taman masih berupa hutan belukar, tetapi setelah peperangan Purabaya dan Mataram usai, Bupati Madiun Pangeran Adipati Pringgolojo 1595 – 1601 merencanakan membangun istana kabupaten di Hutan Taman, memilih taman karena di sana ada rawa-rawa yang luas seperti telaga dengan air yang bersih, (sekarang disebut Ngrowo)
Tahun 1703, Pada saat Kasunanan Kartasura, Raden Ayu Puger, istri Susuhunan Paku Buwono I yang berasal dari Madiun, berkeinginan membangun Taman sari di daerah ini, maka daerah rawa-rawa ini disebut “Taman”.
Tahun 1725, ketika yang memerintah Bupati Pangeran Mangkudipuro, di daerah ini didirikan makam keluarga dan sebuah masjid untuk pengembangan Agama.
Tahun 1784, oleh Sultan Hamengku buwono I, makam Taman ditetapkan sebagai Makam keluarga Bupati Ronggo Prawirodirjo I dan penerusnya.
Hingga sekarang ada 13 Bupati Madiun yang dimakamkan di Makam Taman, yaitu : Pangeran Mangkudipuro, Ronggo Prawirodirjo I, Ronggo Prawirodirjo II, Pangeran Dipokusumo, Tumenggung Tirtoprodjo, Ronggo Prawirodiningrat, Ario Notodiningrat, Adipati Sosronegoro, Tumenggung Sosrodiningrat, Ario Brotodiningrat, Tumenggung Kusnodiningrat, Tumenggung Ronggo Kusmen, dan Tumenggung Ronggo Kusnindar. Makam Taman juga disebut Makam Karanggan (Makam Keluarga Ronggo).
Sejak saat itu, dengan piagam bertulis huruf Jawa Arab (pegon) dengan tinta kuning emas, Desa Taman diberi otonomi luas dengan Kepala pemerintahan desa bergelar Kyai yang diserahkan kepada Kanjeng Raden Ngabehi Kiai Ageng Misbach yang saat itu menjadi penasihat Kanjeng Pengeran Ronggo Prawirodirjo I. Hingga sekarang yang menjabat Kyai Taman sebagai berikut :
1. Raden Ngabehi Kyai Ageng Misbach
2. Kyai Ageng Moch Kalifah
3. Kyai Moch Rifangi
4. Kyai Donopuro I
5. Kyai Benu
6. Kyai Surat
7. Kyai Donopuro II
8. Kyai Imam Ngulomo
9. Kyai Tirto Prawiro
10. Kyai Raden Kabul Umar
11. Kyai Raden Banuarli.
12. Raden Koento Purnomo (sebagai Kepala Besa biasa sejak Tahun 1964)
Desa Perdikan Taman juga di beri mandat oleh Kasultanan Jogjakarta untuk merawat sebilah Tombak Pusaka “Kyai Sidem Pengayom” panjangnya 4 meter.
Pada masa Desa Perdikan Masjid Taman disebut Masjid Donopuro. Hal itu sesuai dengan julukan para kyai pemimpin Desa Perdikan Taman. Baru setelah masjid kuno yang dikelilingi makam para mantan bupati Madiun ini masuk dalam daftar peninggalan cagar budaya tahun 1981, maka namanya pun diganti menjadi Masjid Besar Kuno Madiun.
Melalui masjid kuno yang beratap joglo dengan tiga pintu masuk utama inilah syiar agama Islam di wilayah Karesidenan Madiun di mulai. sejumlah tradisi ke-Islaman yang saat itu menjadi sarana syiar agama di antaranya perayaan 1 Muharam yang diwarnai dengan pembacaan Al Qur’an serta sajian makanan jenang sengkolo, nasi liwet, sayur bening, dan lauk-pauk tradisional seperti tahu dan tempe. sayur bening yang disajikan pada malam 1 Muharam memiliki arti kebeningan jiwa. Sedangkan nasi liwet berarti kebeningan atau kejernihan jiwa itu diharapkan dapat mengental di hati. Jenang sengkolo memiliki arti adanya harapan agar dijauhkan dari musibah. Sedangkan lauk tahu tempe mewakili makanan khas yang digemari rakyat kebanyakan. Selain menyajikan aneka makanan tersebut bagi jemaah dan warga sekitar, masjid juga menggelar seni Gembrung, berupa senandung sholawat yang diiringi alat musik sejenis jidor dan lesung (alat untuk menumbuk padi). Namun sekarang seni itu sudah hampir musnah dan tak pernah diadakan lagi. Yang masih tersisa adalah Grebeg Bucengan (tumpengan) saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW
Sampai saat ini masjid kuno tersebut tidak pernah direnovasi sama sekali, kecuali hanya penambahan kanopi jika jemaah membeludak. Dikatakan, baik bangunan dalam masjid maupun pendopo joglo masjid merupakan bangunan utama masjid kuno tersebut.
3. Tanah Perdikan Kuncen Caruban
Istilah Caruban mungkin bermakna “Campuran” disini dahulu tempat berkumpulnya semua golongan masyarakat mulai dari petani, bangsawan, pejabat untuk adu jago, maka tempat ini kemudian disebut Caruban. Caruban merupakan wilayah pedesaan yang sangat tua, disini juga pernah menjadi ibukota pemerintahan Kabupaten.
Pada perang Trunojoyo, Caruban pertama kali dilalui pasukan tempur Kompeni dibawah pimpinan Jendral Hurd dengan 214 tentara Belanda, 1.000 prajurit Mataram. Tanggal 5 Oktober 1678 mereka menyeberangi Sungai Madiun di Desa Kajang kemudian lewat Caruban menuju ke lereng Gunung Kelud, Kediri.
Pada masa pemberontakan Untung Suropati terhadap Kompeni Belanda tahun 1684, dilanjutkan perebutan tahta Kasunanan Kartosuro antara Sunan Mas dengan Pamannya Pangeran Puger, rakyat Caruban ikut andil dalam memerangi Kompeni Belanda di bawah pimpinan Demang Tampingan bergabung dengan Pangeran Mangkunegoro IV, Bupati Madiun.
Desa Krajan merupakan pusat pemerintahan Kabupaten di Caruban, ada kemungkinan Bupati Pertama di Caruban bernama Raden Cokrokusumo I atau Tumenggung Alap-alap, beliau semula pegawai tinggi dari Kasultanan Demak, putra sulung Raden Pecattondo II, Raden Pecattondo I sebagai Adipati Terung (wilayah Majapahit terakhir) Bupati kedua adalah Raden Cokrokusumo II berjuluk Tumenggung Emprit Gantil, kemudian Bupati berikutnya Raden Tumenggung Notosari. Bupati Raden Tumenggung Notosari adalah putra Bupati Jipang yaitu, Raden Tumenggung Purwowidjoyo ( putra Susuhunan Paku Buwono I dari garwa selir).
Dari perintah Bupati Notosari inilah kemungkinan salah satu desa di Caruban yang bernama “Kuncen” selatan Desa Sidodadi dijadikan Desa Perdikan, yaitu sebagai tempat makam keluarga Bupati Raden Tumenggung Notosari dan para pengikutnya. Piagam keperdikaan desa ini menunjukan tahun wawu 1627 saka atau 1705 masehi oleh Susuhunan Paku Buwono I.
Bupati berikutnya adalah, Raden Tumenggung Wignyosubroto putra bupati sebelumnya, memindahkan ibukota kabupaten ke arah Caruban sekarang atau disebut Desa Tompowijayan atau Bangunsari sekarang. Bupati terakhir adalah Raden Tumenggung Djayengrono, putra Bupati Ponorogo yang bernama Pangeran Pedanten, Beliau kawin dengan putri Pangeran Mangkudipuro Bupati yang dipindah oleh Sultan Hamengku Buwono I dari Madiun ke Caruban.
Jadi Desa Kuncen Caruban ditetapkan sebagai Desa Perdikan karena disitu di makamkan para Bupati dan bangsawan keturunan dari Kasunanan Kartosuro. Para Bupati yang di makamkan disini yaitu: Raden Cokrokusumo I, Raden Cokrokusumo II, Raden Tumenggung Notosari, Raden Tumenggung Wignyosubroto, Pangeran Mangkudipuro, Raden Tumenggung Djayengrono.
4. Tanah Perdikan Sewulan
Situs Perdikan Sewulan adalah cagar budaya peninggalan kerajaan Mataram yang masih tersisa hingga sekarang. Meski sudah berumur hampir tiga abad, arsitektur kuno yang terpajang masih kokoh berdiri. Gapura besar berwarna putih berdiri kokoh. Ornamen kaligrafi menghiasi setiap bagian dari gapura itu. Di bagian paling atas tertulis Masjid Agung Sewulan. Dan di kanan kirinya diberi corak bunga berjajar.
Situs Sewulan sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Madiun. Apalagi, tempat ini merupakan salah satu cagar budaya peninggalan kerajaan Mataram yang tersisa. Pembangunannya pada tahun 1714 oleh Kiai Ageng Basyariyah. Beliau dulu adalah seorang Kiai pimpinan Pesantren dan juga sebagai penyebar Agama Islam di wilayah tersebut.
Nama sewulan berasal dari kata sewu wuwul (seribu hektar) berdasarkn cerita, pendiri Desa Sewulan bernama Bagus Harun, seorang santri dari Tegalsari, Ponorogo. Pada waktu pemerintahan Susuhunan Paku Buwono II, yang memerintah mulai tahun 1727-1749, terjadi pemberontakan Tionghwa (geger pecinan) , tahun 1741 terjadi peperangan hebat di kraton Kartosuro, Susuhunan minta bantuan pada kyai Besari di Tegalsari, oleh Kyai Besari di kirim seorang santri, yaitu Bagus Harun. Karena Bagus Harun mampu menyelesaikan tugas, dan pemberontakan bisa dipadamkan, Bagus Harun di beri hadiah tanah sewu wuwul (1000 ha) yang dipilihnya sendiri, seterusnya disebut Sewulan.
Sekitar tahun 1742, Desa Sewulan mendapat kemerdekaan penuh dari Kasunanan Kartosuro, kepala Perdikan adalah seorang Kyai dan berkuasa turun-temurun, hingga tahun 1962, para Kyai Sewulan, yaitu: Ki Bagus Harun atau Kyai Achmad Basyariah, Kyai Mahdum, Kyai Mustaram I, Kyai Mustaram II, Kyai Wirjogulomo, dan Kyai Muhammad Ichwan, setelah itu Sewulan menjadi Desa Biasa. Ciri khas kekaryaan Desa Sewulan adalah pengrajin Barang dari Besi atau Pande, pelopornya bernama Nitikromo dari Jogjakarta dan Nuryo yang asli dari sewulan. Yang amat menarik ialah adanya empu yang bernama Mohamad Slamet, beliau masih keturunan Empu Suro dari Demak.
Pada masa pemerintahan Belanda, Sewulan tetap berstatus Desa Perdikan, karena Belanda menghargai pejuang yang berasal dari Sewulan, yaitu: Panglima Perang Mancanegara timur ”Surodilogo” waktu Perang Diponegoro.
Desa Sewulan ini juga menjadi kenangan Almarhum Kyai Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika masih kecil. Gus Dur merupakan salah satu keturunan kedelapan Kiai Ageng Basyariyah. Jadi di Sewulan inilah, tempat bermain tokoh yang pernah menjadi Presiden RI itu, sebelum akhirnya hijrah ke Jombang. Selain Gus Dur, Menteri Agama Maftuh Basyuni juga tercatat sebagai keturunan Kiai Ageng Basyariyah.
5. Tanah Perdikan Banjarsari (wetan dan kulon)
Letak Desa Banjarsari bersebelahan dengan Desa Sewulan, secara etimologi kata Banjarsari berasal dari Ganjaran dan sri , artinya: Hadiah dari Raja
Belum diketahui secara pasti terjadinya Desa Banjarsari menjadi perdikan, dengan adanya Palihan Nagari Jogjakarta dan Surakarta pada tanggal 13 Pebruari 1755, Sultan Hamengku Buwono I naik tahta, pada saat itu salah satu kabupaten Mancanegara timur, yang merupakan wilayah Kasultanan Jogjakarta yaitu, Kabupaten Singosari, seolah-olah membangkang perintah sultan, Bupati Singosari tidak mau mendatangi pisowanan rutin yang diadakan Kesultanan Jogjakarta. Sebagai bawahan dari Wedono Mancanegara Timur, maka Pangeran Ronggo Prawirodirjo I berangkat ke Singosari dengan dikawal 40 prajurit pilihan dan seorang pendamping santri dari Pesantren Tegalsari Ponorogo yang bernama Muhammad Bin Umar atas perintah Sultan.
Dipingir kali porong, atas permintaan Bin Umar rombongan berhenti sejenak untuk menanak nasi, nasi bukan untuk dimakan tetapi sebagai sarana agar rombongan prajurit tatkala memasuki keraton Singosari tidak diketahui musuh. Nasi liwet ini disimbolkan “lewat selamat” ternyata hal ini berhasil, selanjutnya Bupati Singosari di bawa menghadap ke Kasultanan Jogjakarta.
Sultan Hamengku Bowono I, kagum mendengar cerita tersebut, seketika itu beliau menghadiahkan bumi Banjarsari kepada Muhammad Bin Umar, sebagai tanah perdikan pada tahun 1763. Sekitar tahun 1793 Desa perdikan Banjarsari dipecah menjadi dua sebagai pembagian ahli waris, menjadi Banjarsari Wetan dan Banjarsari Kulon.
Penguasa Desa Banjarsari sebelum pecah, yaitu: Kyai Ageng I Muhammad Bin Umar, Kyai Ageng II Muhammad Imron, Kyai Ageng III Muhammad Maolani.
Kyai Ageng III ini sebagai wali, karena putra Kyai Ageng II “Tofsiranom” masih berusia 3 tahun. Setelah Kyai Tofsiranom dewasa sebagian wilayah Desa Perdikan diberikan kepada Muhammad Maolani yang berjasa menjadi wali saat Tofsiranom masih kecil. Pemimpin kedua Banjarsari selanjutnya sebagai berikut :
Banjarsari Wetan :
Kyai Tofsiranom I, Kyai Tofsiranom II, Kyai Sosro Ngulomo, Kyai Abdul hamid, Kyai Notodirodo, Kyai Ismangil, Kyai Istiadji
Banjarsari Kulon :
Kyai Mohammad Maolani, Kyai Ngali Murtolo, Kyai Djajadi II, Kyai Mukibat , Kyai Djojodipuro.
Kyai Raden Abdul Hamid dari Banjarsari Wetan merupakan tokoh pendiri Perguruan Ilmu Sumarah (aliran kepercayaan) yang memiliki pengikut ribuan bahkan ada yang dari luar negeri.
Aliran Kepercayaan Sumarah di plokamirkan di Jogjakarta tahun 1935 oleh Raden Ngabehi Sukino dan Kyai Raden Abdul Hamid.
Latar belakang pendirian perkumpulan tersebut adalah segera tercapainnya Indonesia Merdeka dan perdamaian dunia. kerajinan yang sudah dikembangkan oleh Kyai Banjarsari adalah pembuatan sapu ijuk.
Walaupun desa Perdikan diberi otonomi yang luas oleh Kasultanan, akan tetapi setiap Kyai Perdikan punya kewajiban sebagai tanda kesetiaan pada kasultanan, yaitu setiap bulan Maulud Kyai dan beberapa pejabat desa harus menghadap Sultan Jogjakarta. Kesetiaan Desa Perdikan Banjarsari ini terbukti, ketika tahun 1940, Pendopo Kabupaten Madiun terbakar habis maka pendopo Desa Perdikan Banjarsari dibongkar dan di Berikan untuk mengganti pendopo Kabupaten yang terbakar.
Kyai Muhammad Bin Umar memimpin Perdikan Banjasari selama 44 tahun. Ia meninggal pada 1807 atau 1227 hijriah. Ia mewariskan sebuah masjid, Al-Muttaqin, yang didirikannya pada 29 September 1763. Sejak tahun 1963 pemerintah menghapuskan daerah perdikan (otonom). Kyai terakhir dari Banjarsasi Wetan adalah Kyai R. Istiadji bin Kyai Ismangil, sedang Banjarsari Kulon Kyai R.Djojodipoero. Di perdikan tersebut terdapat rumah penyimpanan pusaka yang dinamakan “njero kidul” yaitu rumah pusaka peninggalan kyai yang memerintah Banjarsari Kulon, sedang “njero kulon” rumah pusaka yang ditempati keluarga besar kyai yang memerintah Banjarsari Wetan yang sekarang ditempati oleh keluarga Abdul Khamid.
6. Tanah Perdikan Giripurno
Tanah perdikan Giripurno ditetapkan oleh Sultan Hamengkubuwono II Karena di Gunung Bancak Giripurno terdapat makam anak seorang raja, maka Giripurno dijadikan Perdikan. Kyai Baelawi kemudian ditunjuk menjadi pengelola daerah Perdikan itu.
Kyai Baelawi, putra ke tiga Kyai Bin Umar, Perdikan Banjarsari, meninggalkan Banjarsari untuk menetap di Giripurno, Beliau di Giripurno mendirikan pondok pesantren. Rupa-rupanya beliau orang yang arif dan bijaksana dan banyak didatangi orang karena kearifannya. Salah seorang yang meguru (berguru) kepada beliau adalah Kanjeng Ratu Maduretno, putri Hamengku Buwono II, yang adalah juga isteri Ronggo Prawirodijo III. Tidak menutup kemungkinan Ronggo Prawirodijo III adalah murid beliau juga.
Selain Kanjeng Gusti Ratu Maduretno (garwo padmi) beliau masih mempunyai isteri lain yang berasal dari Madiun (garwo paminggir). Alibasah Sentot Prawirodirjo adalah putra dari Prawirodirjo III dengan garwo paminggir tersebut.
Setelah Maduretno memutuskan hubungan dengan ayahnya, Hamengku Buwono II, maka beliau memilih setelah wafat, dimakamkan di Gunung Bancak, Giripurno.
Ronggo Prawirodirjo III adalah Wedono Bupati Brang Wetan dan sekaligus senopati perang Hamengku Buwono II, Ketika Pangeran Mangkubumi (Hamengku Buwono I) memisahkan diri dari Surakarta dan Membangun Yogyakarta. Ronggo Prawirodirjo I atau kakek Ronggo Prawirodirjo III yang berjasa mengamankan daerah-daerah baru, dan setiap kali berhasil menundukkan suatu daerah, beliau selalu diangkat menjadi Bupati di daerah tersebut hingga pada akhirnya beliau diangkat menjadi Wedono Bupati di Madiun, membawahi bupati-bupati lainnya. Prawirodirjo II dan Prawirodirjo III mewaris jabatan Prawirodirjo I. Tidak diperoleh cerita tentang Prawirodirjo II, kecuali bahwa cucu perempuannya kawin dengan Kyai Perdikan Banjarsari Wetan I.
Ronggo Prawirodirjo III adalah tokoh yang militan. Beliau sangat anti Belanda. Dalam hal ini beliau cocok dengan Hamengku Buwono II yang juga anti Belanda. Namun Surakarta saat itu bekerjasama dengan Belanda. Setelah perjanjian Gianti daerah Timur Surakarta “pating dlemok”, ada yang masuk Surakarta ada yang masuk Yogyakarta.
Di wilayah kekuasaan Belanda Ronggo Prawirodirjo III melakukan perang gerilya dan bumi hangus. Beliau mempunyai pengikut yang bisa digerakkan untuk mengacaukan keadaan di daerah Kasunanan ketika beliau melintas dari Yogya ke Madiun, misalnya dengan menggerakkan para “blandong”, yaitu penebang kayu di hutan yang dikuasai Belanda, untuk melakukan tebang liar.
Karena kemampuannya di bidang politik, Hamengku Buwono II sering membutuhkan kehadiran Prawirodirjo III di Yogyakarta. Mungkin karena perannya yang cukup menonjol itulah maka beliau masuk ke dalam cakupan fitnah Danurejo II yang merupakan antek Belanda. Ketika Belanda menghendaki Ronggo Prawirodirjo III ditangkap hidup atau mati, maka patih Danurejo II menyusun siasat untuk menangkapnya. Tanggal 13 Desember 1810 di utuslah panglima perang Pangeran Dipokusumo (saudara Pangeran Diponegoro) untuk menangkap Ronggo Prawirodirjo III dan mampu menduduki istana Maospati, Madiun. Tanggal 17 Desember 1810 terjadi pertempuran dahsyat di Desa Sekaran Kertosono, hingga Pangeran Dipokusumo bisa langsung berhadapan dengan Ronggo Prawirodirjo III, dengan tombak sakti ”Kyai Blabar” Ronggo Prawirodirjo III bertempur melawan Dipokusumo.
Dalam pertempuran ini terjadi sebuah konflik bathin pada diri Ronggo Prawirodirjo III, yang di hadapi sekarang bukanlah Belanda tetapi saudara sendiri dan keberlangsungan tahta Sultan Hamengku Buwono II, akhirnya dengan berat hati Raden Ronggo memilih mati dengan pusakanya sendiri ”Tombak Kyai Blabar” Dalam versi Babad : karena Pangeran Dipokusumo diperintahkan untuk membawa hidup atau mati, atas permintaanya sendiri beliau dibunuh dengan tombak Kyai Blabar oleh Pangeran Dipokusumo dalam perkelahian pura-pura. Demikianlah Raden Ronggo Prawirodirjo III, Pahlawan Madiun menemui ajalnya sebagai korban Daendels dan antek-anteknya ”Patih Danurejo II” dengan politik ”Devide et impera”
Jenazah Ronggo Prawirodirjo III dibawa ke Yogyakarta dengan upacara kebesaran di makamkan di Banyu Sumurup komplek makam Imogiri. GKR Maduretno, isteri Ronggo Prawirodirjo memutuskan, tidak mau kembali ke Yogyakarta dan mengembalikan busana raja kepada ayahnya. Ini berarti beliau memutuskan hubungan dengan kraton, kemudian setelah menderita sakit dan meninggal di istana Wonosari, GKR Maduretno memilih dimakamkan di Gunung Bancak. Atas pertimbangan keluarga pada bulan Februari 1957 oleh Sultan Hamengku Buwono IX, beliau dipindahkan makamnya ke samping makam isterinya, GKR Maduretno, di Gunung Bancak setelah di semayamkan lebih dahulu di Masjid Taman Madiun.
Dengan kejadian ini Hamengku Buwono II merasa terpukul dan mencari tahu latar belakangnya. Akhirnya terungkaplah pengkhianatan Patih Danurejo II, bahwa ada persekongkolan dengan Belanda dan Danurejolah yang memerintahkan penangkapan Prawirodirjo III hidup atau mati guna memenuhi permintaan Belanda, Danurejo juga telah mencuri stempel Kraton Yogyakarta untuk mengeluarkan perintah penangkapan. Akhirnya Patih Danurejo II dihukum penggal di Kraton, yang kemudian dikenal sebagai “patih sedo kedaton”.
7. Tanah Perdikan Tegalsari, Ponorogo
Pada paroh pertama abad ke-18, hiduplah seorang kyai besar bernama Kyai Ageng Hasan Bashari atau Besari di desa Tegalsari, yaitu sebuah desa terpencil lebih kurang 10 KM ke arah selatan kota Ponorogo. Di tepi dua buah sungai, sungai Keyang dan sungai Malo, yang mengapit desa Tegalsari inilah Kyai Besari mendirikan sebuah pondok yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Tegalsari.
Dalam sejarahnya, Pondok Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di Pondok ini. Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, misalnya desa Jabung (Nglawu), Bantengan, dan lainnya. Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini. Alumni Pondok ini banyak yang menjadi orang besar dan berjasa kepada bangsa Indonesia. Di antara mereka ada yang menjadi kyai, ulama, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, negarawan, pengusaha, dll. sebagai contoh adalah Susuhunan Paku Buwono II atau Sunan Kumbul, penguasa Kerajaan Kartasura; Raden Ngabehi Ronggowarsito (wafat 1803), seorang Pujangga Jawa yang masyhur; dan tokoh Pergerakan Nasional H.O.S. Cokroaminoto (wafat 17 Desember 1934).
Dalam Babad Perdikan Tegalsari diceritakan tentang latar belakang Paku Buwono II nyantri di Pondok Tegalsari. Pada suatu hari, tepatnya tanggal 30 Juni 1742, di Kerajaan Kartasura terjadi pemberontakan Cina yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi (Sunan Kuning), seorang Pangeran keturunan Tionghoa. Serbuan yang dilakukan oleh para pemberontak itu terjadi begitu cepat dan hebat sehingga Kartasura tidak siap menghadapinya. Karena itu Paku Buwono II bersama pengikutnya segera pergi dengan diam-diam meninggalkan Keraton menuju ke timur Gunung Lawu. Dalam pelariannya itu dia sampai di Desa Tegalsari. Di tengah kekhawatiran dan ketakutan dari kejaran pasukan Sunan Kuning itulah kemudian Paku Buwono II berserah diri kepada Kanjeng Kyai Hasan Besari. Penguasa Kartasura ini selanjutnya menjadi santri dari Kyai Wara` itu, dia ditempa dan dibimbing untuk selalu bertafakur dan bermunajat kepada Allah, Penguasa dari segala penguasa di semesta alam.
Berkat keuletan dan kesungguhannya dalam beribadah dan berdoa serta berkat keikhlasan bimbingan dan doa Kyai Besari, Allah SWT mengabulkan doa Paku Buwono II. Api pemberontakan akhirnya reda. Paku Buwono II kembali menduduki tahtanya. Sebagai balas budi, Sunan Paku Buwono II mengambil Kyai Hasan Besari menjadi menantunya. Sejak itu nama Kyai yang alim ini dikenal dengan sebutan Yang Mulia Kanjeng Kyai Hasan Bashari (Besari). Sejak itu pula desa Tegalsari menjadi desa merdeka atau perdikan, yaitu desa istimewa yang bebas dari segala kewajiban membayar pajak kepada kerajaan.
Setelah Kyai Ageng Hasan Bashari wafat, beliau digantikan oleh putra ketujuh beliau yang bernama Kyai Hasan Yahya. Seterusnya Kyai Hasan Yahya digantikan oleh Kyai Bagus Hasan Bashari II yang kemudian digantikan oleh Kyai Hasan Anom. Demikianlah Pesantren Tegalsari hidup dan berkembang dari generasi ke generasi, dari pengasuh satu ke pengasuh lain. Tetapi, pada pertengahan abad ke-19 atau pada generasi keempat keluarga Kyai Bashari, Pesantren Tegalsari mulai surut.
Alkisah, pada masa kepemimpinan Kyai Khalifah, terdapat seorang santri yang sangat menonjol dalam berbagai bidang. Namanya Sulaiman Jamaluddin, putera Panghulu Jamaluddin dan cucu Pangeran Hadiraja, Sultan Kasepuhan Cirebon. Ia sangat dekat dengan Kyainya dan Kyai pun sayang kepadanya. Maka setelah santri Sulaiman Jamaluddin dirasa telah memperoleh ilmu yang cukup, ia diambil menantu oleh Kyai dan jadilah ia Kyai muda yang sering dipercaya menggantikan Kyai untuk memimpin pesantren saat beliau berhalangan. Bahkan sang Kyai akhirnya memberikan kepercayaan kepada santri dan menantunya ini untuk mendirikan pesantren sendiri di desa Gontor.
Peninggalan Sejarah Kerajaan di wilayah Madiun
1. Prasasti Sendang Kamal
Prasasti Sendang kamal berlokasi di dukuh Sumber, Desa Kraton, Kecamatan Maospati, Kabupaten Magetan. Dari jalan Raya Solo Madiun sekitar 1 km dan ada papan bertuliskan “Prasasti Sendang Kamal +- 1 km” di kiri jalan.
Sebelum masuk ke lokasi situs ini, Anda akan melihat patung monyet dan gapura yang memperlihatkan tulisan Jawa dan 2 orang duduk bersila. Lalu saat masuk ke dalam lokasi yang berukuran 35×15 meter ini, Anda akan melihat 3 batu prasasti, sebuah bangunan Belanda tak beratap, dan sebuah kolam di belakang bangunan tersebut.
Prasasti ini sebenarnya berjumlah 4 tetapi menurut buku “Cagar Budaya Prasasti Sendang Kamal” yang mengadopsi pula dari buku terpercaya, bahwa sebuah lagi dibawa dan disimpan di Museum Betawi. Padahal, dari keempat batu prasasti yang dapat dibaca hanyalah yang berada di Museum Betawi ini.
Isi prasasti tersebut ada dua versi, salah satunya adalah bentuk pengabdian punggawa kepada raja dengan mempersembahkan 400 ekor sapi. Kerajaan yang dimaksud adalah Kerajaan Kediri. Sedangkan mengapa dinamakan “Sendang Kamal”, ada berbagai versi dan salah satunya karena kolam yang berada di belakang bangunan Belanda itu pada saat digunakan mandi oleh salah satu bupati dari Madiun, airnya menjadi jernih yang warnanya putih kebiru-biruan mirip Telur Kamal (kini sering disebut telur Asin dari telur bebek).
2. Prasasti Mruwak (1108 Åšaka/1186 M)
Prasasti ini ditemukan oleh Mahasiswa Jurusan sejarah IKIP PGRI Madiun bulan Juli tahun 1975, saat mengadakan kegiatan Kuliah Kerja lokal. Yang dibimbing oleh Drs. Koesdim Heroekoentjoro dan Drs. Arief Soekowinoto.
Prasasti Mruwak. Isi pokok prasasti ini adalah penetapan Desa Mruwak menjadi sīma. Sebab penetapan tersebut adalah adanya penyerangan dari pihak luar, sehingga Desa Mruwak dipindahkan ke tempat yang lebih tinggi dari lokasi semula.
Prasasti Mruwak terbuat dari batuan andesit (upala prasasti) yang berbentuk blok (balok) dengan variasi puncak setengah lingkaran. Tinggi prasasti ini 84 cm, lebar 60 cm (atas) dan 45 cm (bawah), bagian bawahnya berbentuk bunga padma. Prasasti Mruwak beraksara dan berbahasa Jawa Kuna yang dipahatkan di semua sisinya. Bentuk hurufnya kasar, tidak teratur serta pada beberapa bagian sudah aus. Sisi lainnya ditumbuhi lumut dan jamur yang menyebabkan prasasti tersebut rusak (Nasoichah,2007:23–24).
Penggunaan kata Mrwak dalam prasasti masih dipakai hingga sekarang sebagai penyebutan nama Desa Mruwak. Dari pembacaan, diketahui Prasasti Mrwak berangka tahun 1108 Śaka (1186 M), menyebut tentang desa Mrwak dan nama Digjaya Śastraprabhu. Penyebutan nama raja ini juga ditemukan pada prasasti lain dengan sebutan Śrī Jayawarsa Digwijaya Śastraprabhu. Nama Śastraprabhu disebutkan di dalam dua prasasti. Pertama, Prasasti Mrwak dan kedua Prasasti Sirah Kĕting yang berasal dari Dukuh Sirah Kĕting, Desa Bandingan, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur yang berangka tahun 1126 Ś (Wardhani,1982:161).
Berdasar keterangan dalam Prasasti Mruwak, Desa Mruwak pernah mengalami perpindahan tempat. Hal ini dikarenakan Desa Mruwak mendapat serangan dari pihak luar. Seperti dapat dilihat dari isinya, Prasasti Mruwak yang berupa prasasti sīma diturunkan oleh śrī jaya prabhu yang yang tidak lain merupakan penguasa wilayah Madiun dan Ponorogo. Peristiwa penyerangan tersebut disebutkan dalam sambandha dan isi prasasti.
Dilihat dari identifikasi tempat, diketahui bahwa wilayah kekuasaan Śrī Jaya Prabhu berada di sekitar Madiun dan Ponorogo (berdasarkan Prasasti Mruwak dan Sirah Kĕting), yaitu terletak di sebelah barat Gunung Wilis. Sedangkan Desa Mruwak yang dijadikan sīma sendiri terletak di barat Gunung Wilis dan di tenggara sungai besar (berdasarkan Prasasti Mrwak). Bagian yang menarik dari Prasasti Mrwak, bahwa letak Desa Mruwak yang digambarkan dalam prasasti tersebut masih dapat dibuktikan dengan toponimi saat ini. Sungai besar yang disebutkan dalam prasasti sampai sekarang masih ada, oleh penduduk setempat dinamakan Kali Catur.
Mengenai perpindahan tempat, Desa Mruwak berpindah dari tempat yang dekat dengan sungai ke tempat yang lebih tinggi, yaitu dekat gunung dan hanya berjarak sekitar 1 km. Kondisi tersebut memungkinkan penduduk desa pada masa itu masih tetap bermatapencaharian sebagai petani sehingga perpindahan ini tidak terlalu signifikan. Namun apabila dilihat kondisi desa saat ini terdapat perbedaan penggunaan lahannya, dahulu bertani dengan menggunakan sawah datar dengan lahan basah karena dekat sungai, kemudian beralih menjadi sawah berteras karena berada pada lereng gunung. Kondisi yang berdekatan dengan sungai memungkinkan dahulu masyarakat Desa Mruwak juga mencari ikan selain bertani, namun ketika berpindah sebagian kegiatannya berubah menjadi berburu di hutan dan berladang. Penyebutan jenis-jenis binatang hutan seperti kera dan rusa, serta tanaman-tanaman perladangan seperti tanaman pare di dalam Prasasti Mruwak menggambarkan dilaksanakannya kegiatan tersebut.
3. Peninggalan Sejarah Nglambangan
Peninggalan Sejarah Nglambangan, merupakan situs peninggalan bersejarah yang berlokasi di desa Nglambangan, kecamatan Wungu, tepatnya berjarak 8 km kearah timur kota Madiun menuju desa Dungus. Lokasi ini banyak dipergunakan untuk upacara ritual pada saat bulan-bulan syuro. Di tempat ini terdapat peninggalan-peninggalan pada jaman Majapahit, yang antara lain berupa; Pura Lambangsari, Pesiraman dan tempat-tempat yang dianggap keramat oleh warga sekitarnya, tempat-tempat seperti: Rumah Eyang Kromodiwiryo, Watu Dakon yang dulunya digunakan untuk menyimpan pusaka, Punden Lambang Kuning, Lumbung Selayur, Sumur Kuno dan Sendang Jambangan.
Desa ini masuk dalam wilayah Kecamatan Wungu Kabupaten Madiun. 50% Penduduknya bekerja sebagai petani dan sisanya adalah pegawai dan pedagang. Tanaman padi merupakan hasil bumi unggulan dari desa ini,, dalam satu tahun desa ini mampu 3 kali panen padi, hal itu disebabkan para petani di desa ini menggunakan pompa air untuk mengairi sawah mereka sehingga walupun musim kemarau para petani di desa ini tetap bisa menanam Padi.
Ditengah Desa terdapat sebuah situs yaitu Situs Punden Lambang Kuning atau yang lebih dikenal dengan nama Punden Nglambangan. Oleh pemerintah Kabupaten Madiun situs ini telah diakui sebagai peninggalan purbakala, sehingga keberadaanya perlu dilestarikan. Pohon-pohon yang berada dalam komplek situs ini telah berumur ratusan tahun, sehingga suasana dalam komplek situs ini amat tenang dan sejuk. Pada siang hari banyak penduduk desa yang berkumpul dan beristirahat, bahkan tempat bermain anak-anak.
Pada setiap tahun di hari Jum’at legi di bulan suro atau Muharam warga desa mengadakan bersihan atau bersih desa. Biasanya digelar pertunjukan wayang kulit pada malam hari, reog dan langen beksan tayub pada siang harinya, warga desa berduyun-duyun membawa nasi tumpeng untuk selamatan sebagai wujud puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas keselamatan, panen hasil bumi, dan terhindarkan warga desa dari bencana dan wabah penyakit.
Madiun Pada Masa Kemerdekaan
Pada Zaman Jepang daerah ini menjadi Madiun Shi yang diperintah oleh seorang Shi Tjo dan mempunyai wilayah 12 Desa, setelah Proklamasi Kemerdekaan, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948, maka Madiun Shi diubah menjadi Kota Besar Madiun dengan wilayah 12 Desa dibawah perintah Walikota. Kemudian demi pemerataan wilayah berdasar UU Nomor 22 tahun 1948 maka menurut Surat Keputusan Nomor 16 Tahun 1950 Kotapraja Madiun diperjuangkan diperluas dengan mendapat tambahan dari Kabupaten Madiun yaitu 8 (delapan) Desa yakni Demangan, Josenan, Kuncen yang semula berstatus seperti Desa Perdikan Taman, Banjarejo, Mojorejo, Rejomulyo, Winongo dan Manguharjo. Kemudian dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957 sebagai pengganti Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948, Kota Besar Madiun berubah menjadi Kotapraja Madiun dengan wilayah 12 desa dan diperintah oleh seorang Walikota, selanjutnya berdasar Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1958 diadakan perubahan batas-batas wilayah Kotapraja Madiun, karena mendapat tambahan wilayah sebanyak 8 (delapan) buah desa dari Kabupaten Madiun, sehingga wilayah Kotapraja Madiun menjadi 20 desa. Pelaksanaan perubahan batas-batas ini diadakan pada hari Sabtu tanggal 21 Mei 1960 bertempat di Kabupaten Madiun oleh Walikota dan Bupati. Kemudian dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 sebagai pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 1957, Kotapraja Madiun diubah dengan Kota Madya Madiun dengan wilayah 20 desa dan diperintah oleh Walikota Kepala Daerah. Selanjutnya dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, sebagai pengganti UU Nomor 18 tahun 1965, maka Kota Madya Madiun berubah menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Madiun, dengan wilayah 20 desa dan istilah Walikota Kepala Daerah Kotamadya Madiun diubah menjadi Walikota Madya Kepala Daerah Tingkat II Madiun. Dalam Tahun 1979 atas persetujuan DPRD Kotamadya dan Kabupaten Daerah Tingkat II Madiun, diusulkan pemekaran daerah Kotamadya menjadi 27 Desa/Kelurahan. Dimana terhitung mulai tanggal 18 April 1983 wilayah Kotamadya daerah Tingkat II Madiun yang semula 1 Kecamatan, meliputi 20 Kelurahan dengan luas 22,95 KM2 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 1982 dan Surat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur Nomor 135.1/1169/011/1983 tanggal 19 Januari 1983 bertambah menjadi 7 desa yang berasal dari Kabupaten Daerah Tingkat II Madiun yakni Desa Ngegong, Sogaten, Tawangrejo, Kelun, Pilangbango, Kanigoro dan Manisrejo, sehingga luas wilayah Kota Madya Daerah Tingkat II Madiun menjadi 33,92 KM2 terdiri dari 3 Kecamatan dengan 20 Kelurahan dan 7 Desa dimana masing-masing kecamatan terdiri dari 9 Kelurahan/Desa.
Latar Belakang Berdirinya Pemerintah Kota Madiun
Desentralisasi Pemerintah Hindia Belanda yang berlangsung sejak awal abad XIX berjalan terus termasuk pula pembentukan Pemerintah Kota Madiun terpisah dari Pemerintah Kabupaten Madiun, ada beberapa hal sebagai pertimbangan pokok yang melandasi berdirinya Pemerintah Kota Madiun
1. Politik
Pada tahun 1911 didirikanlah Sarekat Islam di Solo sebagai perkembangan bentuk baru dari Sarekat Dagang Islam yang lahir di Kota Solo juga pada dekade pertama abad XIX. Para pendirinya tidak semata-mata untuk mengadakan perlawanan terhadap orang -orang Cina tetapi untuk membuat front melawan semua penghinaan terhadap rakyat bumiputera. Ini merupakan reaksi terhadap krestenings politik (politik pengkristenan) dari kaum Zending, perlawanan terhadap kecurangan-kecurangan dan penindasan oleh pihak ambtenar-ambtenar bumiputera dan eropa.
Berdasarkan Anggaran Dasar Sarikat Islam bertujuan mengembangkan jiwa berdagang, memberi bantuan kepada anggota-anggota yang menderita kesukaran, memajukan pengajaran dan semua yang mempercepat naiknya derajat bumiputera, menentang pendapat-pendapat yang keliru tentang Islam, maka Sarekat Islam tidak berisikan politik. Tetapi seluruh aksi perkumpulan itu dapat dilihat, bahwa Sarikat Islam lain tidak melaksanakan suatu persetujuan ketatanegaraan. Selalu diperjuangkan dengan gigih keadilan dan kebenaran terhadap penindasan dan lain-lain keburukan bagi pihak pemerintah, dan disertai oleh wartawan-wartawan Indonesia yang berani. Periode Sarikat Islam itu dicanangkan oleh suatu kebangunan revolusioner dalam arti tindakan yang gagah berani melawan pemerintah kolonial. Pemerintah Hindia Belanda, menghadapi situasi yang demikian hidup dan mengandung unsur-unsur revolusioner, menempuh jalan hati-hati. Gubernur Jendral Idenburg meminta nasehat dari para residen untuk menetapkan kebijaksanaan politiknya. Hasilnya untuk sementara Sarikat Islam tidak diijinkan berupa organisasi yang mempunyai pengurus besar dan hanya diperbolehkan berdiri secara lokal. Tindakan ini bertujuan untuk mematahkan Sarekat Islam menjadi pergerakan politik berskala nasional. Tetapi waulupun demikian tetap terjalin adanya hubungan antar Sarekat Islam lokal lewat pengurus masing-masing. Sarekat Islam mendapat perhatian ekstra oleh Pemerintah Hindia Belanda, tentu saja mencakup Sarekat Islam di Madiun.
2. Sosial
Nama Madiun lahir pada tanggal 16 Nopember 1690, untuk menggantikan nama lama Purabaya. Madiun sebagai tempat dan pusat pemerintahan daerah Kabupaten di bawah Bupati terus berkembang sebagaimana umumnya kota-kota di pedalaman Jawa yang tumbuh dan berkembang pada Jaman Madya. Pada Tahun 1830 Madiun dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda yang sejak tahun itu pemerintah Hindia Belanda menjalankan culturstelsel yaitu sistem tanam paksa di P. Jawa. Orang belanda mulai masuk di Madiun dan jumlahnya semakin bertambah banyak terlebih setelah sistem tanam paksa dihapus pada tahun 1970 diganti dengan tanaman bebas dan pengusaha bebas.
Orang kulit putih Belanda sebagai penguasa, orang Timur Asing yaitu orang Cina dan Arab yang dapat dikatakan mempunyai kedudukan kuat dalam percaturan ekonomi, bergerak di berbagai bidang usaha terutama perdagangan dan produksi. Sedangkan pribumi sebagian besar merupakan petani, sebagian lainnya pekerja pertukangan dan buruh. Kehidupan pribumi lebih lemah ditambah perlakuan hukum ketatapemerintahan yang diskriminatif sangat menyulitkan bagi pribumi untuk dapat maju. Pertambahan penduduk di madiun sangat pesat pada hal dari segi ekonomi mereka lemah jauh dari kemakmuran dan kesejahteraan, kehidupan yang makmur sejahtera tidak indentik dengan angka kelahiran yang tinggi. Lapangan kerja yang pertumbuhannya tidak sebanding dengan laju pertumbuhan penduduk pribumi, ditambah lagi kurangnya lahan persawahan dikarenakan jatuh kedalam perjanjian sewa tanah bagi kepentingan pengusaha pabrik gula untuk tanaman tebu, maka berdampak terjadinya imigrasi intern oleh pribumi madiun ke daerah lain di pulau jawa, hal ini bisa dilihat dengan dibukanya jalan kereta api yang menghubungkan Kalisat dan Banyuwangi pada tahun 1901 merupakan salah satu pendorong bagi migrasi dari Jawa Tengah ke ujung Jawa sebelah Timur yang masih kosong. Sebagaimana dalam hal perkawinan terjadinya asimilasi etnis antara tiga golongan masyarakat.
3. Budaya
Orang Belanda menganggap dirinya superior terhadap orang tionghoa dan orang pribumi, demikian pula orang tionghoa menganggap dirinya lebih unggul terhadap orang pribumi, namun demikian dalam bidang budaya tidak sebarapa dalam pengaruh begitu terhadap budaya pribumi. Dalam hal ini di Madiun tidak terasa pengaruhnya, gedung-gedung pemerintah dengan pilar-pilar berbentuk bulat penyangga bagian atas bangunan bukan berasal dari belanda melainkan adopsi dari seni bangunan romawi. Tiang dari bahan kayu jati masih dijumpai pada Masjid Raya Baitul Hakim Madiun. Khusus untuk bangunan air hasil arsitektur belanda terkenal mutunya sangat kokoh.
Sementara orang Tionghoa yang ikut-ikutan bangsa belanda merasa super terhadap orang pribumi, hampir dipastikan bahwa tiada pengaruh kebudayaan tionghoa bagi orang pribumi, pengaruh budaya mereka adalah petasan dan kembang api, terus untuk pengembangannya terutama digunakan untuk kepentingan upacara yaitu berupa mercon dan kembang api bukan untuk persenjataan api, dapat pula ditambahkan budaya tionghoa yang ikut mewarisi usaha kerajinan tembikar di Indonesia adalah barang porselin. Dalam Kontak budaya antara orang tionghoa dan pribumi saling mempertahankan tradisi budaya mereka masing-masing, mungkin lebih mengena kalau dikatakan saling menjaga tradisi budaya mereka tanpa terjadinya proses akulturasi yang berarti.
Kalau di Madiun orang tionghoa beradaptasi diri dengan lingkungan mayoritas komunitas pribumi dengan tujuan bahwa mereka tidak merasa terasing lagi pula dari segi aspek-aspek kehidupan yang lain jelas memberikan keuntungan. Demikian pembauran dapat dipastikan tidak dapat terjadi baik pribumi maupun orang tionghoa nampak tetap menjaga kemurnian ras mereka masing-masing andaikata terjadi jumlahnya sangat kecil dan itupun dikarenakan alasan-alasan tertentu.
4. Ekonomi
Gubernur Jendral sebagai pucuk pimpinan Pemerintah Hindia Belanda dalam pelaksanaan pemerintahan hanya bertugas sebagai pelaksana belaka. Adapun garis besarnya pemerintahan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat kerajaan Naderland. Salah satu tugas pemerintahan yang harus diemban Gubernur Jendral adalah hal ekonomi. Pola Ekonomi pemerintah belanda adalah pola ekonomi liberal yang telah digariskan pemerintah pusat kerajaan Naderland, pada prinsipnya adalah pemberian kebebasan oleh pemerintah (penguasa) kepada pelaku-pelaku ekonomi dalam usaha produksi sampai pemasaran didasarkan pada peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam arti pemerintah memberikan jaminan keamanan bagi para usahawan agar dapat berusaha secara optimal.
Akhirnya tiba pada suatu kesimpulan bahwa proses desentralisasi pemerintahan dengan dibentuknya pemerintahan kota beserta dengan dewan kota nampak bahwa ada kepentingan kuat dari pemerintah hindia belanda untuk memantapkan bahkan tidak mustahil untuk mempertahankan lestari berkuasa dan menguasai indonesia. Pembentukan Pemerintahan Kota beserta dengan Dewan Kota Madiun di dalam Staatsblad Van Nederlandsch-Indie (Lembaran Negara Hindia Belanda) No. 326 tanggal 20 Juni 1918 oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda atas nama Ratu Kerajaan Belanda. lembaran negara ini terdiri dari 7 pasal :
Pasal 1
Menunjuk pasal 8 Lembaran Negara No. 137 tanggal 22 Pebruari 1907 bahwa Ibukota Madiun mempunyai wewenang mengatur kebutuhannya sendiri (yang sebelumnya diatur oleh penguasa lain) termasuk mengurus jalan negara di lingkungan kerja Kota Madiun
Pasal 2
Menunjuk ayat 1 pasal 68 a Peraturan kebijaksanaan Pemerintah Hindia Belanda menetapkan :
2.1. Daerah Madiun dengan Ibukota Madiun
2.2. Daerah Madiun dengan Ibukota Madiun disebut Kotapraja
Madiun
Pasal 3
Anggaran belanja Kotapraja Madiun ditetapkan tersendiri dari keuangan umum berjumlah f.28.175,- (dua puluh delapan ribu seratus tujuh puluh lima gulden)
Pasal 4
4.1. Perkerataapian dan Taram diatur oleh Dinas tersendiri di luar terpisah dari Kotapraja Madiun, keuangan umum Hindia Belanda tidak mengatur terhadap kebutuhan
4.1.1. Perawatan, perbaikan, pembaharuan dan pelaksanaan pelbagai pekerjaan tentang kendaraan umum, termasuk pekerjaan seperti penanaman lereng, pengerjaan tanggul, tepi jalan dengan batu dan kayu, pintu air, parit dan sumur, dinding pangkalan, juga pekerjaan yang penting lainnya seperti lapangan, taman, memperpanjang got-got penting pada umumnya.
4.1.2. Penyiraman tanaman dan tepi jalan, mengangkat sampah di sepanjang jalan oleh kendaraan terbuka, jalan-jalan dan taman
4.1.3. Penerangan jalan
4.1.4. Penanggulangan kebakaran
4.1.5. Tempat Pemakaman umum dengan pengertian bahwa biaya untuk pelaksanaan kerja yang diluar kebiasaan akan diberikan bantuan keuangan oleh Negara
4.2. Dalam kejadian yang istimewa dapat dengan permohonan yang mendapat persetujuan Dewan Kotapraja, pekerjaan dilakukan oleh Negara
Pasal 5
5.1 Pemeliharaan yang mengurus apa yang disebut dan dimaksud pasal 4 berada didalam wilayah Kotapraja Madiun diserahkan kepada Kotapraja Madiun terlepas dari kepemilikannya, demikian juga desa-desa diluar Kotapraja Madiun seperti Desa Mangunharjo dan Desa Sambirejo yang terletak di tepi kiri sungai Madiun tetap dikuasai oleh daerah-daerah pemukiman orang cina dan termasuk pemeliharaan oleh Negara adalah puithis, dengan kewajiban penghuninya untuk menjaga dan mengembalikan dalam keadaan baik apabila terjadi pengrusakan Kotapraja mengawasi tanpa hak kepemilikan atasnmya
5.2. Jembatan dan saluran air yang terletak dibatas kotapraja berdasar pasal 5.1. diatas, yang
penting yang terletak di dalam Kotapraja
5.3. Gubernur Jendral membebaskan Kotapraja dari kewajiban yang berada dalam pasal 5.1. tentang saluran air yang ditentukan untuk dibebas tugaskan
Pasal 6
6.1. Untuk Kotapraja Madiun didirikan suatu dewan yang disebut dengan nama Dewan
Perwakilan Daerah Kotapraja Madiun.
6.2. Anggota Dewan berjumlah 13 orang, dengan susunan :
1. 8 (delapan) orang Eropa atau orang lain diluar Eropa yang
disamakan kedudukannya
2. 4 (empat) orang pribumi
3. 1 (satu) orang timur asing
Komposisi keanggotaan Dewan Perwakilan Daerah Kotapraja Madiun yang terdiri dari 8 (delapan) orang anggota eropa atau orang lain yang disamakan kedudukannya, 4 orang pribumi dan 1 orang timur asing, oleh karena musyawarah dewan dalam mengambil keputusan berdasar peranggota bukan pergolongan, tetap dewan dikuasai oleh orang belanda.
6.3. Kepala Pemerintah Kotapraja Madiun adalah Ketua Dewan.
Pasal 7
7.1. Kecuali menentukan mengenai hal itu dalam peraturan kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda, Surat Keputusan Desentralisasi dan Peraturan Dewan Daerah, berisi lingkungan kerja Kotapraja Madiun pada pasal 5, pengawasan yang dimaksud termasuk kebutuhan pemeliharaan yang diuraikan dalam pasal 4, sejauh mana hal itu tidak harus dibayar oleh Kotapraja Pribumi atau lainnya
7.2. Kecuali pemenuhan janji terhadap pemerintah dan penguasa lain, dewan mempunyai wewenang mengatur kebutuhan Kotapraja Madiun
7.3. Keragu-raguan atau perbedaan tentang batas kewenangan tugas pemerintah dari Kotapraja Madiun, dari penguasa lain dan dari Kotapraja Pribumi diputuskan oleh Gubernur Jendral.
Demikian bahwa staatshlad Van Nederlandsch Indie No. 327 tahun 1918 tanggal 20 Juni tentang anggaran tahun pertama. Berdasar data primer pada staatsblad Van Nederlandsch Indie, tahun 1918 No. 326 tanggal 20 Juni dan STVNI tahun 1918 N0. 327 tanggal 2o Juni ditunjang data skunder yang bersifat literer, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Kotapraja Madiun berdiri pada :
Tanggal 20 Juni 1918 , pada saat itu desa-desa mana yang ditetapkan menjadi derah Pemerintahan Kota Madiun tidak tercantum dalam Staatsblad No. 326 tahun 1918 tanggal 20 Juni, Staatblad hanya menyebut dua Desa yaitu Desa Mangunharjo dan Desa Sambirejo yang terletak disebelah kiri sungai Madiun dalam status bukan Desa Daerah Kota Madiun, suatu bentuk pengesahan bahwa kedua Desa tersebut diatas berada dalam wewenang lain di luar Kota Madiun.
Pada Bulan Maret 1942 Kota Madiun diduduki oleh pasukan Jepang dalam kerangka Perang Dunia II (Pemerintah pendudukan Jepang menyebut perang Asia Timur Raya), terdiri dari 12 Desa yakni :
1. Desa Sukosari 7. Desa Kejuron
2. Desa Patihan 8. Desa Klegen
3. Desa Oro Oro Ombo 9. Desa Nambangan Lor
4. Desa Kartoharjo 10. Desa Nambangan Kidul
5. Desa Pangongangan 11. Desa Taman
6. Desa Madiun Lor 12. Desa Pandean
Berdasar pada data dari masa awal pendudukan Jepang di Madiun itulah dapat diketahui bahwa masa hari jadi Pemerintahan Kota Madiun, Desa Daerah Kota Madiun ada 12 Desa. Burgemeester (Walikota) Kepala Pemerintahan Kota Madiun pada masa itu dijabat oleh asisten resident dalam jabatan rangkap berarti disamping menjabat sebagai residen merangkap Walikota.
Pemerintah Kota Madiun didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 20 Juni 1918 berlanjut pada masa pendudukan Jepang Maret 1942, bersambung pada masa pemerintahan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, terselingi oleh Pemerintahan NICA (Nederlands Indies Civil Administration) 19 Desember 1948 s/d 29 Desember 1949 dan berakhir kembali kedalam pemerintahan Republik Indonesia sejak pengakuan kedaulatan Perjanjian KMB (Konferensi Meja Bundar) tanggal 27 Desember 1949 sampai sekarang.
Perkembangan Sepintas Kilas Kota Madiun
1. Susunan dan Perkembangan Pemerintahan
Kedudukan Jepang
A. Pemerintahan Sementara
Dengan penyerahan tanpa syarat oleh Letnan Jendral H. Terpoorten Panglima angkatan perang Hindia Belanda kepada tentara expedisi jepang di bawah Letnan Jendral Hithosi Imamura pada tanggal 8 Maret 1942 berakhirlah pemerintahan Hindia Belanda dan dengan resmi ditegakan kekuasaan Kemaharajaan Jepang.
Setelah itu diterbitkan Osamu Seirei (UU) No. 1 Pasal 1 tanggal 7 Maret 1942 Isinya : Dai Nippon melangsungkan pemerintahan sementara di daerah-daerah yang ditempati (khususnya di Jawa Sumatra) terlihat pada UU itu pejabat Gubernur Jendral dihapus, berarti istilah wilayah Propinsi telah dihapus tingkat pemerintahan tetap berlaku.
B. Pemerintahan di Daerah berdasarkan Struktur Pemerintahan Pendudukan
Menurut UU No. 27 tahun 1942 tentang aturan pemerintahan daerah dan UU No. 28 tahun 1942 tentang aturan pemerintah Syu (karesidenan) dan Tekubetsu Syi (Kotapraja = Istimewa) menyatakan bahwa UU No. 27 tahun 1942 itu mengatur perubahan tata pemerintahan berupa
Pemerintahan : Pemimpin :
Syu Residen Syu Co Residen
Ken Kabupaten Ken Co Bupati
Syi Kotapraja Syi Co Walikota
Gun Kawedanan Gun Co Wedana
Sen Kecamatan Sen Co Camat
Ku Desa Ku Co Lurah
Jelas bahwa Gemeente Madiun tidak berubah atau dibubarkan atau dibentuk yang baru, hanya berubah dalam istilahnya yakni dahulu Stadagameente Madiun sekarang menjadi Syi = Kotapraja Madiun sebutan Walikota menjadi Syi Se Kan (=Kan menyebut orangnya)
2. Perkembangan Pemerintah Republik Indonesia
a. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
1. Tanggal 17 Agustus 1945 jam 10.00 berkumandang saentero
dunia pernyataan Kemerdekaan Indonesia
2. Tanggal 18 Agustus 1945 Jam 10.00 berkumandang saentero
dunia bahwa telah berdiri Negara Merdeka Republik Indonesia.
Alinea kedua ini yang berbunyi : … hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain … , muatan pemindahan kekuasaan berupa cita negara dan cita-cita hukum yakni : bentuk negara berdaulat dan bentuk hukum nasional, keduanya merupakan norma pertama.
Norma pertama atau norma dasar ini sebagai sumbernya segala aturan hukum lainnya, sehingga tidak mungkin dapat dicari dasar hukum lainnya, sehingga tidak mungkin dapat dicari dasar hukumnya yang berlaku sebelumnya. Timbulnya norma pertama membawa konsekwensi timbulnya negara yang baru dan hukum yang baru dan tidak mungkin akan timbul sebelumnya yakni tatanan pemerintah penjajah Belanda/Jepang.
Akibat dari itu nama Nederlands Indie berubah menjadi Negara Republik Indonesia. Semua perangkat di dalamnya tidak mengalami perubahan. Sesuai hal itu nama Madiun Syi kembali menjadi Kotapraja Madiun.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan berdirinya Negara Republik Indonesia. Terbitlah UU. No. 22 tahun 1948, isinya hanya melakukan perubahan-perubahan istilah, bukan pembentukan sesuatu yang baru, maka Madiun Syi menjadi Kotapraja Madiun yang dikepalai oleh seorang Walikota.
Berdasarkan UU. No. 22 tahun 1948 itu dan berdasarkan Surat Keputusan no. 168 tahun 1948 demi pemerintahan daerah, maka perlu ada penataan wilayah daerah/kotapraja baik yang menjelaskan urusan phisik maupun finansial.
Jelas hal itu bukan pembentukan Kotapraja baru.
b. Pasal 18 UUD 1945 menyatakan bahwa pembagian daerah-daerah Indonesia atas Daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan UU. dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.
Pasal tersebut memuat beberapa azas antaranya pemencaran seluas-luasnya kekuasaan untuk mengurus rumah tangga sendiri (otonomi ) kepada daerah-daerah.
Sistem pemerintahan daerah yang masih berlaku sekarang ini dibentuk menurut U.U No. 1 tahun 1957 jo. UU. No. 6 tahun 1959 tentang sistem desentralisasi.
Jenis daerah dapat dibedakan :
– Daerah Swantantra,
– Daerah Istimewa,
– Daerah Kotapraja.
Daerah-daerah tersebut mempunyai tingkatan :
– Daerah Tingkat I ( Kotapraja Jakarta/Propinsi )
– Daerah Tingkat II ( Kotapraja = Kota Besar )
– Daerah Tingkat III ( Kotapraja Kecil )
Menurut UU tersebut Kotapraja Madiun memenuhi selaku Daerah Tingkat II atau dengan sebutan Kota Besar.
Daerah Kotapraja sebenarnya tidak lain dari pada Daerah Swantantra biasa, hanya wilayahnya meliputi kota-kota saja yang merupakan kelompok kediaman penduduk sekurang-kurangnya sekitar 50.000 jiwa.
Untuk itu berdasarkan pada UU. No. 22 tahun 1948 dan berdasarkan pada Surat Keputusan no. 16 Tahun 1950 demi pemenuhan pemerintahan wilayah, maka Kotapraja Madiun mendapat tambahan dari delapan Desa yakni :
– Demangan – Josenan
– Kuncen ( Desa Perdikan ) – Banjarejo
– Mojorejo – Rejomulyo
– Winongo – Manguharjo
Selanjutnya dengan berlakunya UU no. 1 tahun 1957 sebagai pengganti UU no. 22 tahun 1948, maka Kota Besar Madiun di ubah menjadi Kotapraja.
Berdasarkan UU. No. 24 Tahun 1958 diadakan batas-batas wilayah sehingga Kotapraja Madiun memiliki 20 Desa/Kelurahan. Pelaksanaan perubahan tersebut terjadi pada tanggal : 21 – 5 – 1960.
c. Berdasarkan pada UU. No. 18 Tahun 1965 sebagai pengganti UU. No. 1 tahun 1957, Kotapraja Madiun di ubah menjadi Kotamadya Madiun yang diperintah oleh Walikotamadya sebagai Kepala Daerah, selanjutnya sejak berlakunya UU. No. 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah pengganti UU. No. 18 tahun 1965 Kotamadya Daerah Tingkay II Madiun yang diperintah oleh seorang Walikota.
Pada tahun 1979 atas persetujuan DPRD Kotamadya Madiun diusulkan mendapat tambahan tujuh desa dari wilayah Kabupaten Madiun sehingga Kotamadya Madiun memiliki wilayah 27 Desa/Keluraha. Dimana terhitung mulai tanggal 18 – 4 – 1983 wilayah Kotamanya Daerah Tingkat II Madiun yang semula terdiri atas 1 Surat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur No. 135/1169/011/1983 tanggal : 19 – 1 – 1983 bertambah 7 Desa yang berasal dari Kabupaten Daerah Tingkat II Madiun yakni:
– Desa Ngegong
– Desa Sogaten
– Desa Tawangrejo
– Desa Kelun
– Desa Pilangbango
– Desa Kanigoro
– Desa Manisrejo
Sehingga luas wilayah Kotamadya Madiun atau Kotamadya Daerah Tingkat II Madiun menjadi 33.92 KM2 terdiri dari tiga kecamatan yakni, Kecamatan Taman, Kecamatan Manguharjo dan Kecamatan Kartoharjo dengan 20 Kelurahan dan 7 Desa. Masing-masing kecamatan membawahi wilayah 9 desa/kelurahan. Selanjutnya sejak berlakunya UU. No. 22 Tahun 1989 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU. No. 5 Tahun 1974 dan UU. No. 5 Tahun 1979, istilah Pemerintah Kotamdaya daerah Tingkat II Madiun berubah menjadi Pemerintah Kota Madiun, akibat dari itu berdasarkan Peraturan Daerah Kota Madiun No. 4 Tahun 2001 tambahan wilayah 7 desa terakhir berubah statusnya menjadi kelurahan.
Demikian perubahan dan perkembangan Gemeente Madioen terakhir menjadi Kota Madiun.
Pemberontakan PKI di Madiun 1948
Latar Belakang Pemberontakan
Dimulai ketika kabinet Hatta melakukan perintah untuk merasionalisasi dan reorganisasi (rera) tentara pada Kementrian Pertahanan dan Markas Besar Tertinggi Angkatan Perang sampai ke eselon terbawah. Rasionalisasi adalah proses dimana individu membangun logika yang benar (sistematis) untuk digunakan pada keputusan, tindakan atau keteledoran dimana hal ini berangkat, lewat sebuah proses mental yang berbeda. Dimana tentara-tentara yang berperilaku buruk dikembalikan ke kampung halaman atau dikirim ke desa-desa terpencil untuk menjadi petugas keamaan dan petani. Hatta melakukan rasionalisasi bukan karena tidak ada alasan, tapi pemerintah tidak sanggup membiayai banyaknya tentara yang dimiliki negara setelah berhasil merebut kemerdekaan dan menindak lanjuti perjanjian Renville agar secepatnya membentuk Negara Serikat Indonesia.
FDR ( Front Demokrasi Rakyat terdiri dari PKI, partai buruh, Pesindo dan lain-lain) yang telah ikut ambil adil dalam pengkaderan tentara-tentara merasa dilucuti oleh kabinet Hatta. FDR yang notabene adalah pengikut gerakan Moscow (Gerakan Komunis), menyusupkan ideologi-idelogi komunis kepada tubuh tentara lewat pengkaderan itu. FDR menyatakan kalau 35% tubuh TNI di bawah kekuasan FDR, mereka beranggapan kalau rasionalisasi adalah upaya pelucutan kekuatan FDR dan melemahkan kekuatan negara. Karena sebagian besar laskar-laskar yang terkena rasionalisasi adalah yang beraliansi dengan PKI.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, muncul berbagai organisasi yang membina kader-kader mereka, termasuk golongan kiri dan golongan sosialis. Selain tergabung dalam Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), Partai Sosialis Indonesia (PSI) juga terdapat kelompok-kelompok kiri lain, antara lain Kelompok Diskusi Patuk, yang diprakarsai oleh Dayno, yang tinggal di Patuk, Yogyakarta. Yang ikut dalam kelompok diskusi ini tidak hanya dari kalangan sipil seperti D.N. Aidit, Syam Kamaruzzaman, dll. kemudian juga dari kalangan militer, bahkan beberapa komandan brigade, antara lain Kolonel Joko Suyono, Letkol Sudiarto (Komandan Brigade III, Divisi III), Letkol Soeharto (Komandan Brigade X, Divisi III. Kemudian juga menjadi Komandan Wehrkreis III, dan menjadi Presiden RI), Letkol Dahlan, Kapten Suparjo, Kapten Abdul Latief dan Kapten Untung Samsuri.
Pada bulan Mei 1948 bersama Suripno, Wakil Indonesia di Praha, Musso, kembali dari Moskow, Rusia. Tanggal 11 Agustus, Musso tiba di Yogyakarta dan segera menempati kembali posisi di pimpinan Partai Komunis Indonesia.
Musso yang memuji-muji Rusia dan menyatakan bahwa Rusia mengakui RI dan tidak pernah mengakui kedaulatan Belanda di Indonesia. Rusia yang selama ini berseberangan antara Amerika dan satu-satunya negara yang ditakuti Amerika. Pernyataan-pernyataan Musso itu berakibat meningkatkan citra FDR di mata masyarakat dan memberi angin segar kepada FDR. Pertemuannya dengan presiden berbuahkan hasil, presiden meminta Musso untuk membantu memperkuat negara dalam melancarkan revolusi. Akhirnya dia disibukan dengan membakar semangat rakyat untuk menentang kapitalis dan imprealis.
Dibalik itu semua Musso memiliki tujuan terselubung yaitu menginginkan Indonesia bersatu dengan Soviet untuk menghancurkan blok imperialis pimpinan Amerika Serikat. Demi mewujudkan itu Musso memberikan thesisnya dalam sebuah rapat PKI (26-27 Augustus 1948) yang berjudul “Jalan Baru untuk Republik Indonesia”. Diterimanya thesis itu tanggal 31 Agustus 1948 PKI membuat gebrakan dengan dibubarkannya FDR untuk bergabung ke PKI dengan begitu anggota yang awalnya cuma 3.000 orang naik pesat menjadi 30.000.
Pembentukan Pasukan PKI
Pembentukan kekuatan PKI sejak proklamasi Republik Indonesia dideklarasikan oleh Soekarno-Hatta, untuk memberontak bukanlah isapan jempol belaka. Sebelum pemberontakan di Madiun terjadi, PKI telah melakukan upaya pemberontakan di daerah strategis, seperti peristiwa Serang (1945), peristiwa Tangerang (1945), peristiwa tiga daerah (Brebes, Pekalongan dan Tegal) (1945) dan persitiwa Cirebon merupakan wujud nyata sebuah upaya pemberontakan PKI akan kedaulatan negara Indonesia.
Mereka melakukan upaya pemberontakan karena ingin mendirikan soviet di Indonesia, mereka tidak menghiraukan bahwa seluruh elemen bangsa sedang berjuang menegakkan kemerdekaan. Walaupun peristiwa-peristiwa di atas berujung kekalahan, mereka tiada hentinya menegakan ediologinya. Ini bukti tekat keras mereka untuk merealisasikan idiologi komunis.
Demi mewujudkan berdirinya kekuatan bersenjata di pihak PKI, orang-orang komunis menyusun organisasi kelaskaran terdiri dari Pesindo, Laskar Merah, Laskar Buruh, Laskar Rakyat, Laskar Minyak, TLRI (Tentara Laut Republik Indonesia) sampai ke TNI. Mereka mendapatkan senjata ketika Mr. Amir Sjarifuddin mendapat jabatan Perdana Menteri. Mr. Amir Sjarifuddin adalah salah satu dedengkot PKI, ketika menjabat dia memprioritaskan pembagian fasilitas berupa senjata-senjata lebih kepada laskar-laskar yang beraliansi kepada PKI.
Peristiwa Madiun (Madiun Affairs) adalah sebuah konflik kekerasan atau situasi chaos yang terjadi di Jawa Timur bulan September–Desember 1948. Peristiwa ini diawali dengan diproklamasikannya negara Soviet Republik Indonesia pada tanggal 18 September 1948 di Madiun oleh Muso, seorang tokoh Partai Komunis Indonesia dengan didukung pula oleh Menteri Pertahanan saat itu, Amir Sjarifuddin.
Pada saat itu hingga era Orde Lama peristiwa ini dinamakan Peristiwa Madiun (Madiun Affairs), dan tidak pernah disebut sebagai pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Baru di era Orde Baru peristiwa ini mulai dinamakan pemberontakan PKI.
Bersamaan dengan itu terjadi penculikan tokoh-tokoh masyarakat yang ada di Madiun, baik itu tokoh sipil maupun militer di pemerintahan ataupun tokoh-tokoh masyarakat dan agama.
Pada awal konflik Madiun, pemerintah Belanda berpura-pura menawarkan bantuan untuk menumpas pemberontakan tersebut, namun tawaran itu jelas ditolak oleh pemerintah Republik Indonesia. Pimpinan militer Indonesia bahkan memperhitungkan, Belanda akan segera memanfaatkan situasi tersebut untuk melakukan serangan total terhadap kekuatan bersenjata Republik Indonesia. Memang kelompok kiri termasuk Amir Syarifuddin Harahap, tengah membangun kekuatan untuk menghadapi Pemerintah RI, yang dituduh telah cenderung berpihak kepada AS.
Pada saat kekosongan pimpinan TNI di Jawa Timur, orang-orang komunis menyadari adanya kesempatan untuk melakukan dialokasi atau pemindahan pasukan-pasukan PKI untuk mendekati Madiun. Entah sejak kapan Madiun direncanakan sebagai daerah basis PKI, ini membuktikan betapa rapinya organisasi dalam tubuh PKI.
Madiun mempunyai wilayah yang stategis baik dari segi ekonomi, topologi daerah dan militer terutama angkatan udara karena adanya lapangan udara Iswahyudi. Banyak pabrik gula seperti, PG Rejoagung, PG Kanigoro, PG Pagotan, PG Redjosarie Gorang-gareng, PG Sudono Geneng, PG Purwodadie Glodok dinilai memenuhi standar ekonomi. Adanya bengkel kereta Api yang letaknya dekat dengan PG Rejoagung dan lintasan kereta api yang menghubungkan Surabaya – Jakarta ini juga memberikan nilai lebih kota Madiun. Topologi daerah yang diapit 2 Gunung, Gunung Willis dan Gunung Lawu juga merupakan wilayah strategis untuk bertahan dari serangan dan melarikan diri.
Serangan PKI
Kubu PKI tidak langsung menyerang kota Madiun dengan senjata tapi dengan sering melakukan rapat-rapat untuk melakukan reorganisasi yang dihadiri Musso dan Mr. Amir Sjarifuddin. Sebelum rapat dimulai tanpa disadari tiba-tiba muncul pasukan berbaju hitam-hitam yang semakin hari semakin banyak yang tidak diketahui asalnya.
Pasukan berbaju hitam-hitam selama sebelum rapat berlangsung bertempat tinggal di gedung-gedung sekolah yang kebetulan libur. Setelah rapat umum selesai, mereka mulai unjuk gigi. Setiap sudut kota Madiun dijaga oleh pasukan berbaju hitam, kawasan-kawasan strategis pun tak luput mereka jaga seperti pasar, alun-alun, stasiun kereta api dan jembatan-jembatan. Setiap orang yang mau masuk kawasan strategis itu selalu digeledah oleh pasukan berbaju hitam.
Gerak-gerik pasukan hitam membuat warga kota Madiun ketakutan. Bagaimana tidak ketakutann, lawan politik dan pamong praja diculik dan dibunuh. Ketua PNI, walikota, patih Madiun, camat Manisrejo, camat Jiwan, camat Kebonsari, camat Takeran dan lain-lain mereka diculik oleh pasukan hitam. Di Magetan Bupati dan patih dibunuh secara mengerikan. Kepala kepolisian Karesidenan Madiun Komisaris Besar Sunaryo, diculik dari kantornya kemudian dinaikan ke atas truk terbuka dan diarak keliling kota, diiringin barisan demonstran berseragam hitam. Kemudian dikirim kesuatu tempat yang tidak diketahui dan akhirnya dia tidak pernah kembali. Disusul Kepala Polisi Distrik Uteran Achmad dan inspektur polisi Suparlan juga mengalami hal yang sama.
Tanggal 10 September 1948, mobil Gubernur Jawa Timur RM Ario Soerjo (RM Suryo) dan mobil 2 perwira polisi dicegat massa pengikut PKI di Ngawi. Ketiga orang tersebut dibunuh dan mayatnya dibuang di dalam hutan. Demikian juga dr. Muwardi dari golongan kiri, diculik dan dibunuh. Tuduhan langsung dilontarkan, bahwa pihak lainlah yang melakukannya. Di antara yang menjadi korban juga adalah Kol. Marhadi yang namanya sekarang diabadikan dengan Monumen yang berdiri di tengah alun-alun Kota Madiun dan nama jalan utama di Kota Madiun.
Tak luput tokoh-tokoh agama juga menjadi sasaran mereka, seperti Kyai Selo (Abdul Khamid) dan anaknya dibunuh sedangkan Kyai Zubir dimasukan ke dalam sumur hidup-hidup. Rata-rata korban pembantaian PKI mayat-mayatnya dibuang begitu saja layaknya bangkai tikus. Mayat-mayat bergelimpangan di jalan-jalan dan di buang ke sungai Bengawan Madiun. Korban-korban penculikan diperkirakan tidak ada yang bisa selamat, mereka dibantai secara keji. Ditusuk, ditembak, disembelih dan dilempar ke sumur seperti itulah kekejaman PKI di Madiun. Menurut saksi hidup Mariyun Harjo “Saat itu, suami saya dijemput oleh sekelompok orang dengan alasan akan melakukan suatu rapat mendadak di daerah Kresek, Kecamatan Wungu. Namun, sesampai di sana semua orang yang ada disiksa lalu dibuang“. Sepertinya kata-kata Mariyun mewakili semua kekejaman PKI. Diperkirakan jumlah total keganasan PKI warga Madiun pada tahun 1948 mencapai ribuan orang.
Setelah berhasil menduduki kota Madiun PKI mendeklarasikan Soviet Republik Indonesia pada tanggal 18 September 1948. Menarik, setelah menyatakan sebagai Soviet Republik Indonesia dalam sekejab Madiun dirubah sistem pemerintahnya seperti Soviet atau berediologi komunis. Pajak penduduk ditiadakan, karena dianggap tidak mencerminkan suatu negara yang demokratis. Tetapi rakyat diwajibkan mendaftarkan beberapa jumlah emas dan permatanya kepada penguasa. Tidak seorangpun dibolehkan memiliki uang lebih dari limaratus rupiah.
Penumpasan Pemberontakan PKI di Madiun
Setelah mengetahui adanya pemberontakan di Madiun presiden berseru “Tidak sukar bagi rakyat, Pilih Sukarno Hatta atau Muso dengan PKI nya” Upaya pendudukan PKI di Madiun ternyata tidak didukung penuh oleh masyarakat Madiun, jadi stigma negatif kalau masyarakat Madiun adalah pendukung PKI hanya omong kosong belaka. PKI tidak menyadari kalau upaya pemberontakan mereka tidak didukung penuh masyarakat Madiun. Setelah mendengar seruan Presiden RI Sukarno dan sebelum bantuan dari TNI datang para pelajar-pelajar yang tergabung dalam TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar), TGP (Tentara Geni Pelajar) ataupu TP (Tentara Pelajar) mereka langsung menentang tindakan Musso.
Mengetahui pelajar-pelajar menentang rencananya , asrama TRIP diserbu dan dilucuti senjatanya yang mengakibatkan pelajar bernama Mulyadi tewas karena ditusuk bayonet tentara Pesindo (Salah satu laskar PKI). Mengetahui kejadian itu pelajar-pelajar membentuk organisasi bernama PAM (Patriot Anti Musso) untuk melawan tindakan politik Musso.
Karena Musso tidak merasa mendapatkan dukungan dari pelajar-pelajar, Musso membujuk mereka dengan janji menggratiskan biaya sekolah. Tentunya rayuan ini ditolak mentah-mentah oleh pelajar, mereka mengetahui kalau janji-janji itu palsu. Setelah ajakan Musso gagal segera mereka mendatangi makam Mulyadi meneriakan yel-yel anti Musso dan menyanyikan “temanku pahlawanku”.
Ditengah perjalanan pulang mereka mendapat kejutan, mobil mereka dicegat tentara Pesindo. Senapan mesinpun dihadapkan kepada mereka. Tapi bukanya takut tapi malah mengejek dan menantang tentara Pesindo. “Kalau berani satu lawan satu” anehnya dengan senapan mesin tentara Pesindo malah ketakutan.
Melihat keutuhan negara sedang dirong-rong oleh PKI, jendral besar Indonesia Panglima Sudirman langsung memberikan langkah kongkrit. Kolonel Gatot Jawa Barat dan Kolonel Soengkono Jawa Timur diperintah Sudirman untuk menumpas pemberontak. Saat itu jendral Sudirman tidak dapat memimpin serangan karena sakit, maka dipilihlah Kolonel A. H. Nasution, Panglima Markas Besar Komando Jawa (MBKD) sebagai pimpinan serangan.
Jendral Sudirman memerintahkan kepada mereka untuk menumpas pasukan pendukung Musso dalam 2 minggu. Kenyataanya pasukan inti PKI hancur lebur dalam waktu singkat. Mereka dikepung pasukan TNI dari sisi barat yang dipimpin kolonel Gatot Subroto dan sisi timur dipimpin kolonel Soengkono, serta pasukan Mobile Brigade Besar (MBB) Jawa Timur, di bawah pimpinan M. Yasin.
Kekuatan pasukan pendukung Musso digempur dari dua arah: Dari barat oleh pasukan Divisi II di bawah pimpinan Kolonel Gatot Subroto, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Wilayah II (Semarang-Surakarta) tanggal 15 September 1948, serta pasukan dari Divisi Siliwangi, sedangkan dari timur diserang oleh pasukan dari Divisi I, di bawah pimpinan Kolonel Sungkono, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Jawa Timur, tanggal 19 September 1948, serta pasukan Mobiele Brigade Besar (MBB) Jawa Timur, di bawah pimpinan M. Yasin.
Panglima Besar Sudirman menyampaikan kepada pemerintah, bahwa TNI dapat menumpas pasukan-pasukan pendukung Musso dalam waktu 2 minggu. Memang benar, kekuatan inti pasukan-pasukan pendukung Musso dapat dihancurkan dalam waktu singkat. Tanggal 30 September 1948, Kota Madiun dapat dikuasai seluruhnya. Pasukan Republik yang datang dari arah timur dan pasukan yang datang dari arah barat, bertemu di Hotel Merdeka di Madiun. Namun pimpinan kelompok kiri beserta beberapa pasukan pendukung mereka, lolos dan melarikan diri ke beberapa arah, sehingga tidak dapat segera ditangkap.
Baru pada akhir bulan November 1948 seluruh pimpinan dan pasukan pendukung Musso tewas atau dapat ditangkap. Sebelas pimpinan kelompok kiri, termasuk Mr. Amir Syarifuddin Harahap, mantan Perdana Menteri RI, dieksekusi pada 20 Desember 1948, di makam Ngalihan, atas perintah Kol. Gatot Subroto.
Untuk mengenang jasa pejuang Pemerintah Madiun membangun monumen disebut Monumen Kresek di Desa Kresek, Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun. Kerena tempat itu pusat pembantaian masal tawanan-tawanan PKI.
Tulisan ini kami susun berdasarkan sumber utama “Buku Sejarah Kabupaten Madiun Tahun 1980” serta kami tambahkan beberapa artikel yang ada di sites,blog para pecinta sejarah Madiun dan juga dari buku/catatan atau referensi-referensi lain. Sebelumnya kami minta maaf apabila teman-teman blogger merasa artikelnya telah kami kutip ke dalam tulisan ini. Kami hanya berupaya untuk ikut melestarikan dan mempopulerkan sejarah perjuangan nenek moyang kita, agar generasi muda sekarang mengetahui dan akhirnya ikut nguri-uri semua yang telah di wariskan kepada kita. Kami berharap generasi muda khususnya di Madiun dan sekitarnya tidak melupakan dan bahkan menganggap rendah terhadap budaya sendiri (budaya Jawa)di bandingkan budaya mancanegara.
Semoga dengan semakin banyaknya pecinta sejarah dan budaya di Madiun, maka semua cerita sejarah dan budaya yang ada di Madiun sekitarnya akan semakin banyak terungkap, terlepas adanya pro-kontra dan perbedaan-perbedaan. Terima kasih
Share on Google Plus

About Pakdhe aswin

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar