Bangunan Kuno di Madiun.
Rumah Kapiten China
Berkeliling
di alun-alun Kota Madiun memang mengasyikkan. Banyak bangunan kuno
bertebaran di seputar alun-alun tersebut. Salah satu bangunan kuno yang
dapat dijumpai adalah rumah yang berada di pojok barat daya alun-alun.
Rumah kuno tersebut masih tampak berdiri megah. Meski secara fisik masih
terbilang bagus, namun rumah bergaya Eropa tersebut terkesan kurang
terawat. Banyak semak belukar tumbuh subur di halaman depan tersebut.
Dulu,
rumah ini adalah rumah milik orang Belanda yang bermukim di Madiun.
Lalu ketika Hidia Belanda mengalami kesulitan keuangan akibat perang di
sejumlah daerah yang berkepanjangan, banyak aset negara maupun peorangan
dijual atau disewakan. Proses penjualan aset ini yang kelak disebut
dengan pacht, dijual pada orang-orang Tionghoa yang relatif memiliki
ekonomi yang lumayan mapan ketimbang orang pribumi sendiri. Terutama
kepada para Opsir China (biasa orang Belanda menyebutnya). Termasuk
salah satunya adalah rumah yang kini terletak di Jalan Kolonel Marhadi,
Kelurahan Nambangan Lor, Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun, Provinsi
Jawa Timur.
Setelah
dibeli oleh Opsir China, rumah tersebut dikenal sebagai rumah Kapiten
China karena kebetulan yang tinggal lama di rumah itu adalah seorang
Kapiten China. Kapiten bukanlah pangkat dalam kemiliteran, akan tetapi
jabatan yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu
untuk mengawasi semua kegiatan apapun yang ada di Pecinan yang merupakan
wilayah kekuasaannya.
Kala itu, di kota-kota di Hindia Belanda,
VOC sudah lazim mengangkat orang-orang Tionghoa yang berpengaruh dan
memiliki leadership yang kuat serta kaya sebagai pemimpin golongannya.
Orang-orang Tionghoa papan atas diberi pangkat Mayor, Kapiten, Letnan,
tetapi mereka sama sekali bukan tentara. Itu hanya semacam pangkat atau
gelar kehormatan saja. Di mata orang Belanda, mereka disebut juga
sebagai Opsir China.
Tugas utama para Opsir China itu jelas
sebagai coordinator golongannya. Sedangkan di sisi lain, sebagai
penguasa negeri ini. Kompeni sangat membatasi gerak-gerik orang-orang
Tionghoa. Mereka dipaksa tinggal di kampung-kampung China. Dari sinilah
kemudian munculnya cikal bakal Pecinan, yang artinya tempat tinggal
orang-orang Tionghoa.
Diperkirakan rumah Kapiten China
tersebut dibangun pada abad 19 dengan gaya bangunan kolonial yang
berkembang saat itu. Dulu, jalan di depan rumah Kapiten China tersebut
bernama Abattoir Laan atau Magetan Straat, dan terdapat jalur rel kereta
api Madiun-Ponorogo yang berujung pada stasiun Madiun lama dan saat
memasuki pusat kota bercabang hingga berhenti di depan rumah Kapiten
China tersebut. Akan tetapi, sejak era 80-an jalur kereta tersebut sudah
tidak aktif lagi dan malah akhirnya terkena proyek pelebaran jalan.
Berdasarkan
catatan sejarah, Kapiten China terakhir bernama Njoo Swie Lian. Njoo
Swie Lian diangkat menjadi Kapiten China di Madiun pada tanggal 22 Juni
1912 dan menjabat sampai akhir hayatnya pada 17 Februari 1930. Ayah Njoo
wie Lian bernama Njoo Kie Sing, dan ibunya bernama Siok Tjiauw Nio Tan.
Njoo Swie Lian menikah dengan Ong Swan Nio.
Sejak meninggalnya
Kapiten Njoo Swie Lian, rumah tersebut ditempati oleh istri bersama
anak-anaknya hingga Ong Swan Nio, sang istri Kapiten, meninggal dunia
pada 14 November 1935 di Aloon-Aloon Zuid 8 Madioen, alamat rumah yang
terdaftar kala itu.
Sebenarnya bangunan rumah tersebut masih
bagus, akan tetapi sepertinya sudah tidak ditinggali lagi oleh
pemiliknya. Menurut warga setempat, pemilik tersebut berada di luar
Madiun, dan konon kabarnya rumah tersebut sudah dibeli oleh investor dan
rencananya akan dihancurkan untuk didirikan sebuah hotel.
Seandainya
kabar tersebut benar adanya, sungguh amat sangat disesalkan. Pemerintah
Kota (Pemkot) Madiun seharusnya berupaya keras agar bangunan tersebut
tetap lestari. Karena selain bangunan tersebut mempunyai nilai sejarah,
juga menjadi potensi wisata yang sangat menarik. Bisa jadi malah yang
dimaksud oleh WH van Helsdingen, mantan Walikota Soerabaja, yang berkata
“Een volk dat zijn geschiedenis niet eert, is geen geschiedenis waard.
Het blijft op het peil van de primitieve mens, die slechts in het heden
left. Het kenmerk van een cultuurvolk daarentegen is, dat het welbewust
naar een teokomst streeft, harmonisch opgebouwd op het heden en het
verleden. Hoe zou dit mogelijk zijn zonder die pere kennis, zonder
lifderijk doordringen in zeden en gebruiken vat het verleden?” (Bangsa
yang tidak menghormati sejarahnya, tidak layak memiliki sejarah. Ia tak
ubahnya manusia primitif, tetapi hidup di zaman kini. Adapun ciri khas
bangsa yang berbudaya adalah, bahwa mereka dengan sadar berikhtiar untuk
menuju ke masa depan yang dibangun berdasarkan sejarah masa kini dan
masa lalu. Tetapi bagaimana mungkin hal ini bisa terwujud bila tidak
disertai pengertian yang mendalam, tidak disertai pemahaman tentang adat
istiadat dari sejarah masa lampau?
Gedung Bioskop Arjuna Madiun
Seputaran
alun-alun Madiun memang menyimpan kenangan lama. Di sudut pertemuan
antara Jalan Alun-Alun Utara dan Jalan Pandan, masih berdiri bangunan
bioskop Arjuna atau Arjuna Theater. Gedung pertunjukan gambar idoep
tersebut seolah-olah menjadi saksi akan kenangan lama tersebut.
Sebelum
menjadi Arjuna Theater, dulunya bangunan ini merupakan gedung bioskop
Apollo atau Apollo Theater yang didirikan oleh seorang Belanda bernama
L. Knuverlder (1930-1936). Namun, akhirnya berpindah tangan
kepemilikannya kepada seorang Tionghoa. Pada waktu itu, perbioskopan
memang belum menjanjikan keuntungan yang memadai tetapi banyak di
kalangan orang Tionghoa menganggap bahwa usaha ini merupakan investasi
jangka panjang. Setidak-tidaknya investasi di bidang tanah dan bangunan
yang tak pernah mengalami penurunan harga.
Jadi,
bangunan bioskop Arjuna itu sedari awal memang dirancang sebagai gedung
pertunjukan gambar sorot. Bangunan peninggalan Belanda ini, bentuknya
memanjang seperti hanggar yang beratapkan seng.
Sekitar tahun
1980-an, Arjuna Theater mengalami masa keemasan dengan menampilkan
tayangan film Indonesia yang rada “hot”, seronok, dan vulgar di kala
itu. Akan tetapi sejak 1999, bioskop Arjuna mulai meredup pengunjungnya
dan akhirnya sekarat. Pada 2002, Arjuna Theater resmi ditutup.
Gedung
ini sekarang digunakan sebagai penyimpanan gerobak-gerobak pedagang
kaki lima (PKL) yang kerap mangkal di sekitar alun-alun. Bangunan
bioskop Arjuna hingga kini masih bisa disaksikan di Jalan Alun-Alun
Utara, Kelurahan Pangongangan, Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun,
Provinsi Jawa Timur, atau tepatnya berada di sebelah timur Kantor
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Madiun. Hanya saja bangunannya menjadi
terbengkelai dan mangkrak. Kondisi bangunan ini sangat memprihatinkan
dan bisa terancam kelestariannya karena di teras bangunan ini terdapat
poster “dijual”. Akankah nasib bioskop Arjuna sama dengan saudaranya
bioskop Lawu yang sudah dihancurkan dan kini menjadi Pusat Perbelanjaan
(Mall) Sri Ratu? Sejarah yang akan menjawabnya.
Meskipun demikian
alangkah baiknya bila kita sejenak menyimak ujaran yang pernah dikatakan
oleh GH von Faber (1937), “Wie het heden wil begrijpen, moet het
verleden kennen. Kennen is liefhebben. Kennen kan echter ook beteekenen:
elkaar liefhebben, elkander waarderen” (Untuk memahami masa kini, perlu
mengenal masa lampau. Mengenal berarti mengasihi. Mengenal juga
berarti: mengasihi sesama, menghargai sesama)
Pabrik Gula Rejo Agung Baru
Setiap
bis non-Patas, baik dari arah Solo yang akan ke Surabaya maupun
sebaliknya, dari Surabaya yang hendak melanjutkan perjalanan ke Solo,
senantiasa masuk ke Terminal Purbaya, Madiun. Sebelum maupun sesudah
menaikkan ataupun menurunkan penumpang di terminal, bis tersebut selalu
melintasi sebuah bangunan besar dengan lahan yang sangat luas di mana di
sudut lahan yang mengarah ke lampu merah terdapat pajangan kereta
(sepur) bekas pengangkut tebu pada zaman dahulu, yang biasa disebut
dengan lori.
Sepur hitam legam tersebut merupakan penanda bagi
siapa saja yang melintas perempatan ke arah jalan lingkar untuk
menunjukkan bahwa di situ terdapat pabrik gula yang masih aktif
berproduksi. Pabrik gula (PG) itu dikenal dengan nama PG Rejo Agung
Baru.
PG Rejo Agung Baru ini terletak di Jalan Yos Sudarso No. 23
Kelurahan Madiun Lor, Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun, Provinsi Jawa
Timur. Lokasi ini berada di sebelah barat Terminal Purbaya, Madiun.
PG
Rejo Agung Baru ini dibangun pada tahun 1894 oleh NV Handel MT. Kian
Gwan, sebuah perusahaan yang didirikan oleh Oei Tjie Sien (1835-1900).
Oei Tjien Sien merupakan salah satu imigran yang berasal dari Tong-an,
Distrik Ch’uanchou, Provinsi Fukien, Tiongkok. Tidak seperti kebanyakan
orang Tionghoa yang datang ke Nusantara pada abad 19, Tjie Sien lebih
berpendidikan. Ia sempat mengenyam pendidikan dasar China di masa
remajanya. Alasan inilah, ia kerap terlibat dalam pemberontakan di sana,
sehingga ia harus melarikan diri dari Tiongkok. Sekitar 1858, dia
datang ke Semarang, dan memulai jualan kecil-kecilan. Semarang merupakan
tempat yang cocok bagi orang Tionghoa yang ingin berdagang, karena
ketika Tjie Sien tiba, Semarang merupakan kota perdagangan yang besar di
seluruh Pulau Jawa.
Akhirnya, usaha kecil-kecilan yang telah
dirintis oleh Tjie Sien menjadi besar, dan ia menjadi pengusaha yang
sukses. Kesuksesan ini menular ke anak keduanya, Oei Tiong Ham, karena
bagaimana pun juga Kian Gwan turut membentuk dasar untuk karier
bisnisnya di kemudian hari. Pada pertengahan 1890-an, ketika Oei Tiong
Ham masih berada di pertengahan dua puluh, yang beberapa tahun sebelum
ayahnya meninggal, ia mulai membeli pabrik gula. Kian Giam sendiri,
akhirnya berubah menjadi Oei Tiong Ham Concern setelah diambil alih
kepemimpinannya. Oei Tiong Ham Concern menjadi induk perusahaan dengan
status kepemilikan 100 persen swasta, dan sekaligus menjadi kerajaan
bisnis Oei Tiong Ham yang berpusat di Semarang. Tetapi bidang usahanya
merambah kemana-mana terutama di Surabaya, Madiun, Surakarta hingga
Batavia.
Dialah, seperti orang Belanda bilang, sebagai
satu-satunya De Groote Suiker Baronnen atau Raja Gula Kenamaan. Oei
Tiong Ham mempunyai 8 orang istri, dan anaknya berjumlah 26 orang.
Setelah
Indonesia merdeka, terjadi perubahan yang mendasar di pelbagai segi
kehidupan. Tak terkecuali bidang ekonomi. Pada tahun 1961, seluruh
perusahaan Oei Tiong Ham Concern dinasionalisasi oleh Pemerintah
Republik Indonesia (RI) berdasarkan keputusan Pengadilan Ekonomi
Semarang Nomor 32 Tahun 1961 tertanggal 10 Juli 1961, dan untuk
selanjutnya operasional perusahaan tetap berjalan di bawah pengawasan
Menteri atau Jaksa Agung.
Pada 20 Juli 1963, pengelolaan seluruh
aset perusahaan eks Oei Tiong Ham Concern diserahterimakan dari
Menteri/Jaksa Agung RI kepada Menteri Urusan Pendapatan Pembiayaan dan
Pengawasan (P3) yang sekarang dinamakan Kementerian Keuangan.
Pada
tahun 1964, Departemen Keuangan membentuk perusahaan dengan nama PT.
Perusahaan Perkembangan Ekonomi Nasional (PPEN) Rajawali Nusantara
Indonesia dengan status Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan tugas
melanjutkan aktivitas usaha eks Oei Tiong Ham Concern. Sehubungan hal
tersebut, badan hokum PG Rejo Agung Baru berubah menjadi NV PG Rejo
Agung Baru, dan pada tahun 1974, PT. PPEN Rajawali Nusantara Indonesia
disesuaikan badan hukumnya menjadi perusahaan perseroan dengan nama PT.
Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) serta ditetapkan bahwa seluruh saham
PG Rejo Agung Baru menjadi milik PT. RNI, sedangkan nama PG Rejo Agung
Baru berubah menjadi PT. PG Rejo Agung Baru.
Pada tahun 1996,
seiring dengan perkembangan globalisasi dari AFTA yang akan masuk dalan
industri gula maka untuk mengantisipasi tersebut pihak manajemen PT. RNI
mengadakan serangkaian perubahan kebijakan, seperti nama berubah
menjadi PT. PG Rajawali I-Unit PG Rejo Agung Baru.
Semenjak 1998
sampai sekarang, kapasitas pabrik ditingkan menjadi 4.500 TCD (tahun
2008) dan sistem pemurnian dirubah menjadi sistem sulfitasi, dan saat
ini PG Rejo Agung Baru memiliki kapasitas giling sebesar 6.000 TCD.
PG
Rejo Agung Baru sekarang menjadi salah satu perusahaan terbesar di Kota
Madiun yang bergerak di bidang industri pertanian. Pabrik ini, selain
berdiri di atas lahan yang lebih dari satu hektar ini, juga memiliki
lahan pertanian tebu di berbagai kecamatan se-Kabupaten Madiun.
Berdasarkan
perjalanan sejarahnya, PG Rejo Agung Baru ini merupakan salah satu
bangunan cagar budaya (BCB) yang terdapat di Kota Madiun yang harus
dilindungi.
Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Madiun
Dalam
perjalanan dari pusat Kota Madiun menuju ke arah Terminal Purabaya atau
sebaliknya, Anda akan menyaksikan bangunan kuno dengan menara yang khas
tanpa atap di samping pintu utama. Tepat di gevel pintu utama yang
lumayan besar terdapat tulisan Griya Winaya Janma Miwarga Laksa
Dharmmesti. Tulisan tersebut berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri
atas 6 kata, yaitu griya artinya rumah atau tempat, winaya bermakna
pendidikan atau bimbingan, janma artinya manusia atau orang, miwarga
maknanya salah jalan atau sesat, laksa artinya tujuan, dan dhammesti
bermakna berbuat baik. Bila enam kata tersebut dirangkaikan mempunyai
makna: rumah untuk pendidikan manusia yang salah agar patuh pada hukum
dan berbuat baik. Bangunan itu adalah Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS)
Kelas 1 Madiun.
Secara administratif LAPAS Kelas 1 Madiun terletak
di Jalan Yos Sudarso No. 100 Kelurahan Madiun Lor, Kecamatan
Manguharjo, Kota Madiun, Provinsi Jawa Timur. Lokasi ini tidak begitu
jauh dengan PG Rejo Agung Baru maupun PT. INKA. Batas bangunan tersebut
sebelah utara dengan kompleks perumahan POLRI, sebelah timur dengan
Jalan Yos Sudarso, sebelah selatan dengan Sekolah Dasar Negeri (SDN) 2
Nambangan Lor Madiun) dan barat berbatasan dengan tanah sawah LAPAS dan
perumahan perkampungan penduduk.
LAPAS Kelas 1 Madiun
didirikan pada tahun 1919 oleh Pemerintah Hindia Belanda dan mulai
digunakan pada tahun 1926. LAPAS ini sebelumnya adalah LAPAS yang
digunakan untuk memenjarakan masyarakat pribumi (inlander).
LAPAS
ini dulunya merupakan LAPAS Kelas II A yang khusus untuk menampung
narapidana yang berkaitan dengan kasus narkotika maupun psikotropika.
Dengan keluarnyaKeputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor M.16.PR.03 Tahun 2003 tentang Peningkatan Kelas
1 Lembaga Pemasyarakatan dari Kelas II A menjadi Kelas 1 dan LAPAS dari
Kelas II B menjadi Kelas II A, secara otomatis LAPAS Madiun berubah
dari Kelas II A menjadi Kelas 1.
LAPAS Madiun dalam
perkembangannya telah mengalami renovasi sebanyak enam kali, yaitu pada
tahun 1975/1976, 1978/1979, 1982/1983, 1984/1985, 1992/1993, dan yang
terakhir pada tahun 1993/1994.
Bangunan LAPAS ini memiliki luas
tanah 29.790 m² dan luas bangunan 7.948 m². Pada luas tersebut terdapat
bangunan kantor dan blok untuk para narapidana maupun tahanan. Luas
total blok hunian adalah 4.806,71 m², yang terbagi menjadi 15 blok di
mana masing-masing blok memiliki luas 320,48 m². Blok A dikhususkan
untuk narapidana dan tahanan wanita. Blok B, C, D merupakan blok yang
dipergunakan untuk narapidana dan tahanan. Blok E, F selatan 1, F utara
2, Asingan (F selatan dan F utara), G, H dan I juga digunakan untuk
narapidana dan tahanan. Blok J adalah rumah sakit, sedangan blok
Penaling untuk narapidana dan tahanan yang baru datang atau masuk ke
LAPAS tersebut.
LAPAS Kelas 1 Madiun ini dalam
perjalanannya mengalami berbagai kisah pembinaan di dalam proses
pemasyarakatan. LAPAS ini pernah menjadi penjara untuk menjebloskan para
pemberontak pada peristiwa PKI Madiun 1948. Kemudian juga pernah untuk
menampung para tahanan yang terkena kasus narkoba di seluruh Provinsi
Jawa Timur. Namun kini, seluruh narapidana dari berbagai kasus yang
bersifat bisa menghuni LAPAS ini.
Sebelum menjadi lembaga
pemasyarakatan, bangunan ini dikenal dengan Penjara Kletak. Ketika itu,
sistem kepenjaraan bercirikan balas dendam dan penjeraan. Munculnya
institusi rumah penjara akhrinya sudah tidak sesuai lagi dengan alam
kemerdekaan yang berlandaskan Pancasila, dan akhirnya diperkenalkan
istilah LAPAS sesuai dengan semboyna dalam bahasa Sansekerta yang
menenempel pada gevel tersebut. Sehingga diharapkan menjadi rumah
pertobatan yang mendidik manusia supaya berperilaku baik, mengubah
kebiasaan buruknya dan diharapkan setelah keluar dari LAPAS, mereka
berperilaku baik dan menyesali perbuatannya. Hal itu didasari pada
fitrah kemanusiaan bahwa tiap orang adalah manusia dan harus
diperlakukan sebagai manusia, meskipun ia telah tersesat, tidak boleh
selalu ditunjukkan pada narapidana bahwa ia itu penjahat. Sebaliknya,ia
harus merasa bahwa ia dipandang dan diperlakukan sebagai manusia
Stasiun Kereta Api Babadan
Stasiun
Kereta Api Babadan (BBD) atau yang selanjutnya disebut dengan Stasiun
Babadan, merupakan salah satu stasiun kereta api yang berada di bawah
manajemen PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi (Daop) 7
Madiun yang berada pada ketinggian + 63 m di atas permukaan lain, dan
merupakan stasiun kereta api yang berada di daerah paling barat di
wilayah Kabupaten Madiun.
Stasiun Babadan terletak di Jalan
Babadan No. 4 Desa Dimong, Kecamatan Madiun, Kabupaten Madiun, Provinsi
Jawa Timur. Lokasi stasiun ini berada di dekat tikungan Jalan Tulungrejo
yang memotong jalur rel atau perlintasan sebidang.
Bangunan
stasiun Babadan ini merupakan bangunan peninggalan masa Hindia Belanda.
Diperkirakan pembangunan stasiun ini bersamaan dengan pembangunan jalur
rel kereta apinya. Jalur kereta api yang melintas di stasiun Babadan
ini merupakan jaringan rel kereta api yang menghubungkan Kertosono –
Nganjuk – Madiun yang dikerjakan oleh Perusahaan Kereta Api milik
Pemerintah Hindia Belanda, Staatsspoorwegen, dari tahun 1881 dan selesai
pada tahun 1882. Stasiun hampir bersamaan pembangunannya dengan stasiun
Saradan.
Stasiun ini memiliki 3 jalur dengan jalur 1 sebagai
sepur lurus, dan khusus berjalan langsung kereta api. Jalur 2 digunakan
khusus untuk kereta api jika terjadi persilangan, dan jalur 3 digunakan
untuk parkir kereta api yang melakukan maintenance jalur rel kereta
api.
Setelah ditutupnya stasiun Semawu, stasiun Babadan menjadi
stasiun yang berada di daerah paling barat di wilayah Kabupaten Madiun
ini. Stasiun ini terbatas hanya untuk persilangan kereta api, bukan
untuk menaikan maupun menurunkan penumpang
- Blogger Comment
- Facebook Comment
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar