- Asal Mula Nama Madiun
Wisata sejarah yang mengandung nilai religius tinggi ini sudah diberi anggaran dan rancangan bangunan untuk merawat serta melestarikan bangunan-bangunannya. Sejak tahun 2006 dilaksanakan kembali tradisi mataraman, yaitu grebeg maulud Nabi Muhamad SAW dengan acara kirab gunungan jaler dan gunungan estri dengan dinaikan ke kereta kuda dari Masjid Kuncen menuju ke Masjid Donopuro Taman, atau dari Alun-alun Madiun menuju ke Masjid Taman.
- Asal Usul Daerah Taman
Pada masa kekuasaan Kasunanan Kartasura. Sekitar tahun 1703, Raden Ayu Puger , istri Susuhunan Paku Buwono I yang berasal dari Madiun, berniat membangun Taman di Daerah Ngrowo, sebagai Tamansari (taman wisata), dengan adanya rencana itu maka daerah ini kemudian disebut ”Taman” , sejak itu pula daerah Taman diberi kebebasan dari kerja rodi, tidak dipungut pajak, tetapi wajib merawat taman yang akan di bangun.
Masjid Kuno Taman
Masjid yang bangunan utamanya terbuat dari kayu jati dengan ukuran
cukup besar yang ada di Kelurahan/Kecamatan Taman, Kota Madiun dikenal
para jemaah dan pengunjung sebagai Masjid Besar Kuno Madiun. Jarang yang
mengetahui jika masjid yang dibangun oleh Kiai Ageng Misbach tahun
1754 itu semula bernama Masjid Donopuro.
Dalam sejarahnya, Masjid Donopuro didirikan di tanah perdikan (daerah bebas pajak) dari Kerajaan Mataram yang diberikan kepada Kanjeng Pangeran Ronggo Prawirodirjo I yang saat itu menjabat Bupati Wedono Timur (Monco Negari Timur) Kerajaan Mataram Bagian Timur Gunung Lawu.
Selanjutnya, tanah perdikan dengan otonomi khusus itu diserahkan kepada Kanjeng Raden Ngabehi Kiai Ageng Misbach yang saat itu menjadi penasihat Kanjeng Pengeran Ronggo Prawirodirjo I.
“Memang tak banyak yang mengetahui dulu nama asli Masjid Besar Kuno Madiun ini Masjid Donopuro. Hal itu sesuai dengan julukan pendirinya, yakni Kiai Ageng Misbcah yang memiliki sebutan Kiai Donopuro,” terang, Raden Mas Suko Pramono, keturunan ketujuh Kanjeng Pengeran Ronggo Prawirodirjo I ini kepada Surya, Kamis (3/9).
Baru setelah masjid kuno yang dikelilingi makam para mantan bupati Madiun ini masuk dalam daftar peninggalan cagar budaya tahun 1981 silam, maka namanya pun diganti menjadi Masjid Besar Kuno Madiun. Menurut Mas Suko Pramono, melalui masjid kuno yang beratap joglo dengan tiga pintu masuk utama inilah syiar agama Islam di wilayah Karesidenan Madiun terjadi.
Lelaki yang akrab dipanggil Raden Suko ini menyebutkan sejumlah tradisi ke-Islaman yang saat itu menjadi sarana syiar agama di antaranya perayaan 1 Muharam yang diwarnai dengan pembacaan Al Qur’an serta sajian makanan jenang sengkolo, nasi liwet, sayur bening, dan lauk-pauk tradisional seperti tahu dan tempe.
Dijelaskan, sayur bening yang disajikan pada malam 1 Muharam memiliki arti kebeningan jiwa. Sedangkan nasi liwet berarti kebeningan atau kejernihan jiwa itu diharapkan dapat mengental di hati.
Jenang sengkolo memiliki arti adanya harapan agar dijauhkan dari musibah. Sedangkan lauk tahu tempe mewakili makanan khas yang digemari rakyat kebanyakan.
Selain menyajikan aneka makanan tersebut bagi jemaah dan warga sekitar, masjid juga menggelar seni Gembrung, berupa senandung sholawat yang diiringi alat musik sejenis jidor dan lesung (alat untuk menumbuk padi).
“Namun sekarang seni itu sudah hampir musnah dan tak pernah diadakan lagi. Yang masih tersisa adalah Grebeg Bucengan (tumpengan) saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW,” ungkap lelaki berusia 44 tahun ini.
Tak Direnovasi, Raden Suko menjelaskan, sampai saat ini masjid kuno tersebut tidak pernah direnovasi sama sekali, kecuali hanya penambahan kanopi jika jemaah membeludak. Dikatakan, baik bangunan dalam masjid maupun pendopo joglo masjid merupakan bangunan utama masjid kuno tersebut.
Di komplek masjid ini terdapat makam para mantan bupati Madiun, mulai dari Kanjeng Pangeran Ronggo Prawirodirjo I dan penasihatnya Kiai Ageng Misbach, hingga sejumlah bupati Madiun penerusnya. Asmunadi, 47, warga Kelurahan/Kecamatan Taman, Kota Madiun, mengaku tak pernah tahu kalau masjid tersebut memiliki nama asli Masjid Donopuro.
“Sudah bertahun-tahun saya menjadi jemaah di sini, saya tidak tahu kalau nama asli masjid ini Masjid Donopuro. Umumnya warga menyebut Masjid Kuno Taman atau Masjid Kuno Madiun,” kata Asmunadi.
Dalam sejarahnya, Masjid Donopuro didirikan di tanah perdikan (daerah bebas pajak) dari Kerajaan Mataram yang diberikan kepada Kanjeng Pangeran Ronggo Prawirodirjo I yang saat itu menjabat Bupati Wedono Timur (Monco Negari Timur) Kerajaan Mataram Bagian Timur Gunung Lawu.
Selanjutnya, tanah perdikan dengan otonomi khusus itu diserahkan kepada Kanjeng Raden Ngabehi Kiai Ageng Misbach yang saat itu menjadi penasihat Kanjeng Pengeran Ronggo Prawirodirjo I.
“Memang tak banyak yang mengetahui dulu nama asli Masjid Besar Kuno Madiun ini Masjid Donopuro. Hal itu sesuai dengan julukan pendirinya, yakni Kiai Ageng Misbcah yang memiliki sebutan Kiai Donopuro,” terang, Raden Mas Suko Pramono, keturunan ketujuh Kanjeng Pengeran Ronggo Prawirodirjo I ini kepada Surya, Kamis (3/9).
Baru setelah masjid kuno yang dikelilingi makam para mantan bupati Madiun ini masuk dalam daftar peninggalan cagar budaya tahun 1981 silam, maka namanya pun diganti menjadi Masjid Besar Kuno Madiun. Menurut Mas Suko Pramono, melalui masjid kuno yang beratap joglo dengan tiga pintu masuk utama inilah syiar agama Islam di wilayah Karesidenan Madiun terjadi.
Lelaki yang akrab dipanggil Raden Suko ini menyebutkan sejumlah tradisi ke-Islaman yang saat itu menjadi sarana syiar agama di antaranya perayaan 1 Muharam yang diwarnai dengan pembacaan Al Qur’an serta sajian makanan jenang sengkolo, nasi liwet, sayur bening, dan lauk-pauk tradisional seperti tahu dan tempe.
Dijelaskan, sayur bening yang disajikan pada malam 1 Muharam memiliki arti kebeningan jiwa. Sedangkan nasi liwet berarti kebeningan atau kejernihan jiwa itu diharapkan dapat mengental di hati.
Jenang sengkolo memiliki arti adanya harapan agar dijauhkan dari musibah. Sedangkan lauk tahu tempe mewakili makanan khas yang digemari rakyat kebanyakan.
Selain menyajikan aneka makanan tersebut bagi jemaah dan warga sekitar, masjid juga menggelar seni Gembrung, berupa senandung sholawat yang diiringi alat musik sejenis jidor dan lesung (alat untuk menumbuk padi).
“Namun sekarang seni itu sudah hampir musnah dan tak pernah diadakan lagi. Yang masih tersisa adalah Grebeg Bucengan (tumpengan) saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW,” ungkap lelaki berusia 44 tahun ini.
Tak Direnovasi, Raden Suko menjelaskan, sampai saat ini masjid kuno tersebut tidak pernah direnovasi sama sekali, kecuali hanya penambahan kanopi jika jemaah membeludak. Dikatakan, baik bangunan dalam masjid maupun pendopo joglo masjid merupakan bangunan utama masjid kuno tersebut.
Di komplek masjid ini terdapat makam para mantan bupati Madiun, mulai dari Kanjeng Pangeran Ronggo Prawirodirjo I dan penasihatnya Kiai Ageng Misbach, hingga sejumlah bupati Madiun penerusnya. Asmunadi, 47, warga Kelurahan/Kecamatan Taman, Kota Madiun, mengaku tak pernah tahu kalau masjid tersebut memiliki nama asli Masjid Donopuro.
“Sudah bertahun-tahun saya menjadi jemaah di sini, saya tidak tahu kalau nama asli masjid ini Masjid Donopuro. Umumnya warga menyebut Masjid Kuno Taman atau Masjid Kuno Madiun,” kata Asmunadi.
0 komentar:
Posting Komentar