Asal Mula Nama Madiun

  • Asal Mula Nama Madiun
Pada masa pemerintahan Ki Ageng Reksogati dan Pangeran Timur nama Madiun belum ada, daerah ini dulu disebut Kadipaten Puroboyo. Asal kata Madiun mempunyai banyak versi, yang ditinjau dari berbagai sudut pandang, diantaranya yaitu : gabungan dari : kata “medi” (hantu) dan “ayun-ayun” (berayunan), yaitu dikisahkan ketika Ki Mpu Umyang / Ki Sura bersemedi untuk membuat sebilah keris di sendang panguripan ( sendang amerta ) di Wonosari ( Kuncen, sekarang ) diganggu gendruwo/ hantu yang berayun-ayun di pinggir sendang, maka keris tersebut diberi nama ”Tundung Mediun”. Kemudian cerita lain berasal dari “Mbedi” (sendang) “ayun-ayunan” (perang tanding) yaitu perang antara Prajurit Mediun yang dipimpin oleh Retno Djumilah di sekitar sendang. Kata ”Mbediun” sendiri sampai sekarang masih lazim diucapkan oleh masyarakat terutama di daerah Kecamatan Kare, Madiun. Mereka mengucapkan Mbediun untuk menyebutkan Madiun, versi berikutnya adalah Madya-ayun yaitu Madya ( tengah ) ayun ( depan ), Pangeran Timur adalah adik ipar dan juga salah satu bangsawaan Demak yang sangat di hormati oleh Sultan Hadiwijoyo di Kasultanan Pajang, maka pada waktu acara pisowanan beliau selalu duduk sejajar dengan Sultan Hadiwijoyo di Madya ayun ( tengah depan ). Dan letak sendang ini satu kompleks dengan Masjid Kuno Kuncen, ini sangat strategis untuk dijadikan wisata religius karena banyak mengandung sejarah dan peninggalan-peninggalan yang perlu dilestarikan.
Wisata sejarah yang mengandung nilai religius tinggi ini sudah diberi anggaran dan rancangan bangunan untuk merawat serta melestarikan bangunan-bangunannya.  Sejak tahun 2006 dilaksanakan kembali tradisi mataraman, yaitu grebeg maulud Nabi Muhamad SAW dengan acara kirab gunungan jaler dan gunungan estri dengan dinaikan ke kereta kuda dari Masjid Kuncen menuju ke Masjid Donopuro Taman, atau dari Alun-alun Madiun menuju ke Masjid Taman.

  • Asal Usul Daerah Taman 
Pada masa kekuasaan kesultanan Pajang, Desa Taman masih berupa hutan belantara, tetapi setelah ibukota Kabupaten Madiun di Wonorejo hancur akibat peperangan melawan Mataram pada tahun 1590, Bupati Pangeran Adipati Pringgoloyo (pengganti Raden Ayu Retno Djumilah), merencanakan membangun istana kabupaten di hutan Taman, di daerah ini terdapat rawa-rawa yang luas dan berair bersih seperti telaga (sekarang disebut ”Ngrowo”).
Pada masa kekuasaan Kasunanan Kartasura. Sekitar tahun 1703, Raden Ayu Puger , istri Susuhunan Paku Buwono I yang berasal dari Madiun, berniat membangun Taman di Daerah Ngrowo, sebagai Tamansari (taman wisata), dengan adanya rencana itu maka daerah ini kemudian disebut ”Taman” , sejak itu pula daerah Taman diberi kebebasan dari kerja rodi, tidak dipungut pajak, tetapi wajib merawat taman yang akan di bangun.

Tahun 1725 ketika yang berkuasa di Madiun Pangeran Mangkudipuro, di Taman didirikan Makam keluarga dan sebuah masjid untuk pengembangan Agama Islam di wilayah Kabupaten Madiun. Pada tahun 1784, Bupati  Madiun Pangeran Raden Ronggo Prawirodirjo I wafat, oleh iparnya yaitu, Sultan Hamengku Buwono I, makam Taman yang sudah dipersiapkan sebelumnya oleh Bupati Mangkudipuro ( lawan politiknya) ditetapkan sebagai makam kerabat beliau. Begitu seterusnya,  ada 13 Bupati Madiun yang dimakamkan di Taman, yaitu : Ronggo Prawirodirjo I, Ronggo Prawirodirjo II, Pangeran Mangkudipuro, Pangeran Dipokusumo, Tumenggung Tirtoprodjo, Ronggo Prawirodiningrat, Ario Notodiningrat, Adipati Sosronegoro, Tumenggung Sosrodiningrat, Ario Brotodiningrat, Tumenggung Kusnodiningrat, Tumenggung Ronggo Kusmen dan Tumenggung Ronggo Kusnindar. Orang menyebut Makam Taman adalah Makam Karanggan (makam keluarga Ronggo) sejak saat itu pula Desa Perdikan Taman di kukuhkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I, dengan piagam yang ditulis dengan huruf Arab Jawa (pegon) dengan tinta kuning emas, Pemimpin desa Taman bergelar ”Kyai” yang berkuasa penuh mengelola desa.



Masjid Kuno Taman

Masjid yang bangunan utamanya terbuat dari kayu jati dengan ukuran cukup besar yang ada di Kelurahan/Kecamatan Taman, Kota Madiun dikenal para jemaah dan pengunjung sebagai Masjid Besar Kuno Madiun. Jarang yang mengetahui jika masjid yang dibangun oleh Kiai Ageng Misbach tahun 1754 itu semula bernama Masjid Donopuro.
Dalam sejarahnya, Masjid Donopuro didirikan di tanah perdikan (daerah bebas pajak) dari Kerajaan Mataram yang diberikan kepada Kanjeng Pangeran Ronggo Prawirodirjo I yang saat itu menjabat Bupati Wedono Timur (Monco Negari Timur) Kerajaan Mataram Bagian Timur Gunung Lawu.

Selanjutnya, tanah perdikan dengan otonomi khusus itu diserahkan kepada Kanjeng Raden Ngabehi Kiai Ageng Misbach yang saat itu menjadi penasihat Kanjeng Pengeran Ronggo Prawirodirjo I.
“Memang tak banyak yang mengetahui dulu nama asli Masjid Besar Kuno Madiun ini Masjid Donopuro. Hal itu sesuai dengan julukan pendirinya, yakni Kiai Ageng Misbcah yang memiliki sebutan Kiai Donopuro,” terang, Raden Mas Suko Pramono, keturunan ketujuh Kanjeng Pengeran Ronggo Prawirodirjo I ini kepada Surya, Kamis (3/9).

Baru setelah masjid kuno yang dikelilingi makam para mantan bupati Madiun ini masuk dalam daftar peninggalan cagar budaya tahun 1981 silam, maka namanya pun diganti menjadi Masjid Besar Kuno Madiun. Menurut Mas Suko Pramono, melalui masjid kuno yang beratap joglo dengan tiga pintu masuk utama inilah syiar agama Islam di wilayah Karesidenan Madiun terjadi.

Lelaki yang akrab dipanggil Raden Suko ini menyebutkan sejumlah tradisi ke-Islaman yang saat itu menjadi sarana syiar agama di antaranya perayaan 1 Muharam yang diwarnai dengan pembacaan Al Qur’an serta sajian makanan jenang sengkolo, nasi liwet, sayur bening, dan lauk-pauk tradisional seperti tahu dan tempe.
Dijelaskan, sayur bening yang disajikan pada malam 1 Muharam memiliki arti kebeningan jiwa. Sedangkan nasi liwet berarti kebeningan atau kejernihan jiwa itu diharapkan dapat mengental di hati.

Jenang sengkolo memiliki arti adanya harapan agar dijauhkan dari musibah. Sedangkan lauk tahu tempe mewakili makanan khas yang digemari rakyat kebanyakan.
Selain menyajikan aneka makanan tersebut bagi jemaah dan warga sekitar, masjid juga menggelar seni Gembrung, berupa senandung sholawat yang diiringi alat musik sejenis jidor dan lesung (alat untuk menumbuk padi).

“Namun sekarang seni itu sudah hampir musnah dan tak pernah diadakan lagi. Yang masih tersisa adalah Grebeg Bucengan (tumpengan) saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW,” ungkap lelaki berusia 44 tahun ini.

Tak Direnovasi, Raden Suko menjelaskan, sampai saat ini masjid kuno tersebut tidak pernah direnovasi sama sekali, kecuali hanya penambahan kanopi jika jemaah membeludak. Dikatakan, baik bangunan dalam masjid maupun pendopo joglo masjid merupakan bangunan utama masjid kuno tersebut.

Di komplek masjid ini terdapat makam para mantan bupati Madiun, mulai dari Kanjeng Pangeran Ronggo Prawirodirjo I dan penasihatnya Kiai Ageng Misbach, hingga sejumlah bupati Madiun penerusnya. Asmunadi, 47, warga Kelurahan/Kecamatan Taman, Kota Madiun, mengaku tak pernah tahu kalau masjid tersebut memiliki nama asli Masjid Donopuro.

“Sudah bertahun-tahun saya menjadi jemaah di sini, saya tidak tahu kalau nama asli masjid ini Masjid Donopuro. Umumnya warga menyebut Masjid Kuno Taman atau Masjid Kuno Madiun,” kata Asmunadi.
Share on Google Plus

About Pakdhe aswin

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar